Wednesday, 26 January 2011

Sufi's Life - Mursyid dalam tasawuf / Tharekat

A. Pengertian Kedudukan mursyid atau pemimpin peramalan dalam suatu tarikat menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan pergaulan sehari-hari supaya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam maksiat seperti berbuat dosa besar atau dosa kecil, tetapi juga memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan melaksanakan amal-amal sunnah untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT. Disamping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid adalah juga pemimpin kerohanian bagi murid-muridnya, menuntun dan membawa murid-muridnya kepada tujuan tarikat guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring- iringan, berimam-imaman melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT. Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya dengan para wali Allah yang saleh.(Kadirun Yahya,1982 : 15-16). As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam bukunya yang terkenal “Tanwirul Qulub” menjelaskan bahwa seorang murid/salik dalam usahanya menuju ke hadirat Allah SWT yang didahului dengan tobat, membersihkan diri rohani, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh haruslah mempunyai Syekh yang sempurna pada zamannya, yang melaksanakan ketentuan syariat berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis, dan mengikuti peramalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara berkesinambungan yang diteruskan oleh para ahli silsilah sampai pada zamannya. Seorang mursyid yang silsilahnya berkesinambungan sampai dengan Nabi Muhammad SAW, haruslah mendapatkan izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Dengan demikian seorang mursyid haruslah telah mendapatkan pendidikan yang sempurna, sudah arif billah, seorang wali yang mendapat izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Seorang murid/salik yang bertarikat tanpa Syekh maka mursyidnya adalah syetan. (Amin Al Kurdi, 1994 : 353). Syekh Abu Yazid Al Busthami, Artinya : “Orang yang tidak mempunyai Syekh Mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.” Mursyid itu bukan wasilah, tapi Mursyid itu adalah pembawa wasilah atau hamilul wasilahatau wasilah carrier,menggabungkan wasilah itu kepada wasilah yang telah ada pada rohaniah Rasulullah SAW. Sebagai pemimpin rohani mursyid mempunyai sifat-sifat kerohanian yang sempurna, bersih dan kehidupan batin yang murni. Mursyid adalah orang yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempunyai kemampuan makrifat. Mursyid merupakan kekasih Tuhan. Secara khusus mendapat berkah daripada-Nya, dan sekaligus menjadi pembawa wasilah dari hamba kepada Tuhannya. Pada dirinya terkumpul makrifat sempurna tentang syariat Tuhan, mengetahui berbagai penyakit rohani dan tahu cara pengobatannya. Sebagai kekasih Allah, Mursyid mendapat anugerah kemampuan untuk mendatangkan maunah-maunah atau karamah-karamah. Syekh Mursyid dalam melaksanakan tugasnya mempunyai predikat-predikat sesuai dengan tingkat dan bentuk pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Predikat-predikat itu dapat saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain : (1) Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total. (2) Syaikh al-Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti. (3) Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka. (4) Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan. (5) Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarikat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang. (6) Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dalam suatu lembaga tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam dalam menjalankan tugasnya(Ensiklopedi Islam 3, 1994 : 303). B. Dalil-Dalil Banyak dalil naqli Al Qur’an maupun Al Hadis, yang menjelaskan tentang fungsi dan kedudukan Mursyid. Menjelaskan dalil naqli tersebut kita temui pula Qaulul Arifin yaitu kata-kata mutiara sufi yang telah arif billah menjelaskan fungsi dan kedudukan mursyid tersebut dalam suatu tarikatullah. Firman Allah SWT, Artinya : Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkan-Nya sesat, maka tidak ada seorang pemimpin (Wailyyam Mursyida) pun yang memberinya petunjuk (Q.S. Al Kahfi 18 : 17). Firman Allah SWT, Artinya : Barang siapa mentaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama-sama dalam deretan orang- orang yang diberikan Allah kurnia pada mereka yaitu para Nabi, para shidiqin, orang-orang syahid dan orang-orang yang saleh. Adalah sebaik-baiknya bersahabat dengan mereka (Q.S. An Nisa’ 4 : 69). Firman Allah SWT, Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang- orang yang benar (Q.S. At Taubah 9 : 119). Dari Q.S Al Kahfi 18 : 17 tersebut dapat disimpulkan bahwa Mursyid itu adalah seorang wali yang berfungsi sebagai pembimbing rohani dari seorang yang mendapat hidayah dari Allah SWT. Dari Q.S. An Nisa’ 4 : 69 juga Q.S. At Taubah 9 : 119 Mursyid itu termasuk kelompok orang- orang yang benar dan orang-orang yang saleh. Tafsir Al Maraghi V : 128, menjelaskan tentang tafsir Q.S. Al Kahfi 18 : 17bahwa Ashabul Kahfi adalah contoh orang yang mendapat petunjuk, memperoleh jalan yang benar dan mendapat kemenangan dunia akhirat. Mereka itu adalah orang yang mendapat irsyad/petunjuk dari Allah SWT, sedangkan orang yang sesat adalah orang yang tidak mendapatkan hidayah irsyad/petunjuk itu dan tidak pula mendapatkan seseorang yang menunjukinya (mursyid) maka larutlah dia dalam keadaan sesat itu. Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Usman bin Affan r.a. d ia berkata, Rasulullah bersabda, “Di hari kiamat, yang memberi syafaat ada tiga golongan yaitu para nabi, para ulama, dan para syuhada.” (H.R. Ibnu Majah). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Abu Sa’id, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari umatku ada yang memberi syafaat kepada golongan besar dari manusia, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu suku, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu orang, sehingga mereka masuk surga semuanya.” (H.R. Tarmizi). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah”. (H.R. Abu Daud) Yang dimaksud dengan ulama dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan orang yang memberi syafaat dalam hadis riwayat Tarmizi termasuk para Mursyid. Dalam sabda Rasulullah orang yang telah beserta dengan Allah itu termasuk para wali mursyid. C. Syarat-syarat Berdasarkan pengertian tentang Mursyid dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Walaupun fungsi Mursyid itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya, tapi bidangnya adalah rohani yang sangat halus yang berpusat pada lubuk hati sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, ghaib atau metafisika. Pelajaran yang diberikan mursyid kepada muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Adapun fungsi guru yang kita kenal adalah transfer of knowledge. Dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Ada delapan syarat utama bagi seorang mursyid itu, yaitu : 1). Pilihlah guru yang mursyid, yang dicerdikkan Allah SWT dengan izin dan ridho-Nya bukan dicerdikkan oleh yang lain-lain. 2). Kamil lagi Mukammil (sempurna dan menyempurnakan), yang diberi kurnia oleh Allah, karena Allah. 3). Memberi bekas pengajarannya (kalau ia mengajar atau mendo’a berbekas pada si murid, si murid berubah ke arah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridla Allah, Biiznillaahi. 4). Masyhur ke sana ke mari, kawan dan lawan mengakui, ia seorang guru besar. 5). Tidak dapat dicela pengajarannyaoleh orang yang berakal, karena tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Al Hadis dan akal/ilmu pengetahuan. 6). Tidak mengerjakan hal yang sia-sia, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya. 7). Tidak setengah kasih kepada dunia, karena hatinya telah bulat penuh kasih kepada Allah. Dia ada giat bergelora dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi tidak karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah SWT. 8). Mengambil ilmu dari “Polan” yang tertentu ; Gurunya harus mempunyai tali ruhaniah yang nyata kepada Allah dan Rasul dengan silsilah yang nyata. Di kalangan sufi atau tarikat, berguru itu yang penting tidak hanya mendapatkan pelajaran atau ilmu pengajaran, tetapi yang lebih penting lagi dalam belajar dengan Syekh Mursyid itu adalah beramal intensif dan berkesinambungan, serta memelihara adab dengan Syekh Mursyid sebaik-baiknya. Dengan cara ini seseorang murid antara lain akan mendapatkan Ilmu Ladunni langsung dari Allah SWT yang berbentuk makrifah karena terbukanya hijab. Inilah yang dimaksud dengan syarat nomor satu tersebut. Syarat yang terpenting lainnya bahwa seseorang mursyid itu harus mempunyai silsilah dan statuta yang jelas dari gurunya, seperti yang tersebut pada syarat nomor delapan. As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam buku Tanwirul Qulubnya ada 24(duapuluh empat) syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mursyid yaitu : 1). Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Syariah dan Akidah yang dapat menjawab, dan memberikan penjelasan bila mereka bertanya tentang itu. 2). Mengenal dan arif tentang seluk beluk kesempurnaan dan peranan hati serta mengetahui pula penyakit-penyakit, kegelisahan-kegelisahannya dan mengetahui pula cara-cara mengobatinya. 3). Bersifat kasih sayang sesama muslim terutama kepada muridnya. Apabila seorang mursyid melihat muridnya tidak sanggup meninggalkan kebiasaan-kebiasaan jeleknya maka ia harus bersabar dan tidak mencemarkan nama baiknya. Dia juga harus terus menerus memberi nasehat, memberi petunjuk sampai muridnya itu kembali menjadi orang baik. 4). Mursyid harus menyembunyikan atau merahasiakan aib dari murid-muridnya. 5). Tidak tersangkut hatinya kepada harta muridnya dan tidak pula bermaksud untuk memilikinya. 6). Memerintahkan kepada murid apa yang harus dilaksanakan dan melarang apa yang harus ditinggalkan. Untuk itu Mursyid harus memberi contoh sehingga ucapannya menjadi berwibawa. 7). Tidak duduk terus menerus bersama dengan muridnya kecuali sekedar hajat yang diperlukan. Kalau dia bermuzakarah memberi pelajaran kepada murid-muridnya haruslah memakai kitab-kitab yang muktabarsupaya mereka bersih dari kotoran yang terlintas dalam hati, dan supaya mereka dapat melaksanakan ibadat yang sah dan sempurna. 8). Ucapannya hendaklah bersih dari senda gurau dan olok-olok, tidak mengucapkan sesuatu yang tidak perlu. 9). Hendaklah selalu bijaksana dan lapang dada terhadap haknya. Tidak boleh minta dihormati, dipuji atau disanjung-sanjung dan tidak membebani murid dengan sesuatu yang tidak sanggup dilaksanakannya dan tidak menyusahkan mereka. 10). Apabila dia melihat seorang murid yang kalau banyak duduk semajelis dengannya, bisa mengurangi kewibawaan dan kebesarannya, hendaklah si murid itu segera disuruh berkhalwat yang tidak begitu jauh darinya. 11). Apabila ia melihat kehormatan terhadap dirinya sudah berkurang dalam anggapan hati murid- muridnya, hendaklah ia segera mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk mencegahnya, sebab yang demikian ini adalah musuh yang terbesar. 12). Tidak lalai untuk memberi petunjuk kepada mereka, tentang hal-hal untuk kebaikan murid- muridnya. 13). Apabila murid menyampaikan sesuatu yang dilihatnya dalam mukasyafah maka hendaklah ia tidak memperpanjang percakapan tentang itu. Karena kalau mursyid memperpanjang pembicaraannya tentang penglihatan murid tadi, mungkin murid itu akan merasa martabatnya sudah tinggi dan ini akan merusak citranya. 14). Mursyid wajib melarang murid-muridnya membicarakan rahasia tarikat kepada orang yang bukan ikhwannya kecuali terpaksa. Mursyid juga mencegah pembicaraan tentang sesuatu yang luar biasa yang dialaminya walaupun dengan sesama ikhwan, sebab yang demikian ini akan menimbulkan rasa sombong dan takabur atau menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain. 15). Mursyid hendaklah berkhalwat pada tempat yang khusus dan tidak memperkenankan orang lain masuk kecuali orang-orang yang telah ditentukan. 16). Mursyid hendaklah menjaga agar muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidurnya, makan dan minumnya, sebab yang demikian bisa mengurangi penghormatan murid terhadap syekh yang bercerita dan mempergunjingkannya yang merusak kemaslahatan murid itu sendiri. 17). Tidak membiarkan murid terlalu banyak makan, karena banyak makan itu memperlambat tercapainya latihan yang diberikan oleh Mursyid, dan banyak makan itu menjadikan murid itu budak perut. 18). Melarang murid-muridnya semajelis dengan mursyid lain, sebab yang demikian membahayakan keadaan murid itu sendiri. Tetapi apabila dia melihat pergaulan itu tidak akan mengurangi kecintaan dan tidak pula akan menggoyahkan pendirian muridnya, maka boleh saja mursyid membiarkan muridnya semajelis dengan syekh lain. 19). Harus mencegah muridnya sering mengunjungi pejabat-pejabat atau para hakim, supaya murid jangan terpengaruh, dan bisa menghambat tujuannya untuk menuju akhirat. 20). Tutur kata dan tegur sapa hendaklah dilaksanakan dengan sopan santun dan lemah lembut dan tidak boleh berbicara kasar atau memaki-maki. 21). Apabila seorang murid mengundangnya maka hendaklah dia menerima undangan itu dengan penuh penghormatan dan penghargaan. 22). Apabila mursyid duduk bersama muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang, sopan, tertib dan tidak gelisah dan tidak banyak menoleh kepada mereka. Tidak tidur bersama mereka, tidak melunjurkan kaki. Para murid harus percaya bahwa mursyid itu mempunyai sifat-sifat terpuji yang menjadi ikutan dan panutan mereka. 23). Apabila mursyid menerima kedatangan murid, hendaklah dia menerimanya dengan senang hati, tidak dengan muka yang masam dan apabila murid meninggalkannya hendaklah mursyid mendo’akannya tanpa diminta. Apabila Mursyid datang kepada muridnya, hendaklah ia berpakaian rapi, bersih dan bersikap yang sebaik-baiknya. 24). Apabila seorang murid tidak hadir di majelis zikir, hendaklah ia bertanya dan meneliti apa sebabnya. Kalau dia sakit, hendaklah dia jenguk atau ada keperluan hendaklah ia bantu atau karena ada suatu halangan hendaklah dia mendo’akannya. As Syekh Amin Al Kurdi berkesimpulan bahwa sifat mursyid harus meneladani sifat-sifat Rasulullah menghadapi sahabat-sahabatnya sesuai dengan kemam-puannya (Amin Al Kurdi, 1994 : 453-455). Imam Al Ghazalimenyatakan bahwa murid tak boleh tidak harus mempunyai syekh yang memimpinnya, sebab jalan iman adalah samar, sedangkan jalan Iblis itu banyak dan terang. Barang siapa yang tak mempunyai syekh sebagai petunjuk jalan dia pasti akan dituntun oleh Iblis dalam perjalanannya itu. D. Menghadirkan Mursyid Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya dalam fatwanya pada peringatan Hari Guru dan Hari Silsilah tanggal 20 Juni 1996, menegaskan tentang menghadirkan mursyid. Dalam fatwa itu beliau mengatakan salah satu metode berzikir dan beramal dalam tarikatullah Naqsyabandiyah adalah menghadirkan Syekh Mursyid sebagai imam rohani. Dengan hal ini akan mendapatkan konsentrasi penuh dalam berzikir dan beribadat. Sesungguhnya menghadirkan (menyertakan) Syekh Mursyid dalam berzikir dan beribadat tidak hanya terdapat dalam Tarikatullah Naqsyabandiyah saja, tetapi juga terdapat pada seluruh lembaga tarikat-tarikat muktabarah. Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Menceritakan kepada kami Sofian bin Wakik, mengabarkan kepada kami Bapakku dari Sofian, dari ‘Asyim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pada waktu minta ijin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah, maka Nabi bersabda, “Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan aku, pada waktu engkau berdo’a nanti, dan jangan engkau lupakan aku”. Hadis ini adalah hadis Hasan Sahih. (H.R. Abu Daud dan Turmuzi). Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali r.a. menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa, tapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap melaksanakan ibadat bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa yang telah mereka alami itu. Para pakar Tarikat Naqsyabandiah sepakat membolehkan dan membenarkan untuk menghadirkan Syekh Mursyid karena fungsinya sebagai ulama pewaris Nabi, sebagai imam/pembimbing rohani, dengan tujuan agar orang yang berzikir dan beribadat itu terhindar dari segala was-was, rupa- rupa/pandangan-pandangan lain, bisikan-bisikan lain, perasaan-perasaan lain, yang diciptakan oleh iblis dan syetan yang selalu mengganggu orang-orang yang berzikir dan beribadat itu, padahal yang bersangkutan belum tinggi kualitas Iman dan Takwanya. Rasulullah SAW bersabda, “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah” (H.R. Abu Daud). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Abdullah bin Busrin r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW, “Sangat beruntunglah bagi orang yang melihat aku dan beriman kepadaku, sangat beruntung pula orang yang melihat orang yang telah melihat aku, demikian juga seterusnya orang yang telah melihat orang yang telah melihat aku tadi dan beriman kepadaku, dan beruntunglah kesemuanya dan bagi mereka semua mendapatkan sebaik- baik tempat kembali kepada Allah.” (H.R. Ath-Thabrani). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Ya Ali, orang mu’min senantiasa tambah dalam agamanya selama tidak makan barang haram, dan barang siapa mencerai (menjauhi) ulama (jasmani dan rohani) maka matilah hatinya dan buta dari taat kepada Allah SWT (Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Washiyyatul Musthafa lil Imam Ali : 3). Sayyid Al Bakri dalam buku “Kifayatul Atqiyah”mengatakan, Artinya : Dan menyatakan pula kepada (zikir Allah, Allah) itu menghadirkan gurunya yang mursyid, agar menjadi teman dalam perjalanan menuju kepada Allah ta’ala (Sayyid Al Bakri, Kifayatul Atqiyah : 107). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Barangsiapa melihat aku, maka betul-betul dia telah melihat aku. Sesungguhnya aku bisa menzahir dalam tiap-tiap rupa. (Sayyid Ahmad bin Idris, kitab Ruhus Sunnah Warauqun Nufusil .Mutma’innah : 147). Sabda Rasulullah SAW : Artinya : Barangsiapa memuliakan orang alim, maka sesungguhnya dia telah memuliakan aku. Barangsiapa memuliakan aku, sesungguhnya dia telah memuliakan Allah dan barangsiapa yang memuliakan Allah maka surgalah tempatnya (Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as Suyuti, kitab “Lubabul Hadis” : 8). Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Barangsiapa melihat wajah orang alim (jasmani dan rohani) satu kali, dan dia bergembira, senang, menghayati dengan penglihatan itu, maka Allah ta’ala akan menjadikan dengan melihatnya itu, malaikat-malaikat yang memintakan ampun untuknya sampai hari kiamat. (Kitab Lubabul Hadis : 8). Syekh Amin Al Kurdi menjadikan kisah Yusuf dengan Siti Zulaikha yang tidak jadi melaksanakan hubungan seksual, karena terbayang atau hadirnya dalam rohani ingatan Yusuf, yaitu ayahnya sendiri dan suami Zulaikha (Al Aziz, Perdana Menteri Mesir), betapa murkanya mereka ini nanti kalau terjadi perbuatan yang tidak susila itu. Syekh Amin Al Kurdi dan tokoh-tokoh sufi lainnya menjadikan Q.S. Yusuf 12 : 23 dan 24 ini sebagai dalil boleh dan perlunya menghadirkan mursyid supaya terhindar dari was-was iblis dan syetan. Yusuf menghadirkan ayahnya yitu Nabi Ya’cubdalam ingatan, sekaligus tersambung kepada Allah SWT, sehingga tercegahlah perbuatan tidak susila itu. Firman Allah SWT , Artinya : Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, “Marilah ke sini”. Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (Qithfir) telah memperlakukan aku dengan baik”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf. Dan Yusuf pun tentu akan bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba- hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf 12 : 23 – 24). Prof.Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya selanjutnya memfatwakan dan menegaskan kepada murid- murid beliau bahwa tidak boleh menjadikan foto Syekh Mursyid sebagai perantara, apalagi disembah atau disyarikatkan bersama-sama dengan Allah SWT. Jangankan fotonya, Syekh Mursyid pun bukan perantara dan bukan yang disembah atau disyarikatkan dengan Allah SWT. Syekh Mursyid tidak memberi bekas karena yang memberi bekas hanya Allah SWT saja. Yang memberi bekas adalah kudrat dan iradat Allah SWT yang merupakan power dan frekuensi tak terhingga ( ), langsung dari Allah SWT, yang tersalur melalui Arwahul Muqaddasah para Nabi dan para RasulAllah, serta para Wali Allah dan kepada orang-orang saleh yang berzikir, baik lahir maupun batin bersama-sama dengan mereka. Syekh Mursyidsebagaimana halnya wali-wali Allah yang lain, bukan juga wasilah, tetapi pembawa wasilah atau wasilah carrieratau hamilul wasilah yang menyalurkan wasilah, power dan frekuensi tak terhingga ( ) dari Allah SWT. Orang yang merabithkan rohaniahnya kepada rohaniah wali-wali yang ada padanya wasilah, maka dia akan langsung juga mendapatkan power dan frekuensi wasilah yang tak terhingga itu, sehingga faktor tak terhingga menjelma padanya yang disebut khariqul ‘adah, yang berbentuk ma’unah-ma’unah ataupun kekeramatan-kekeramatan. Prof. Dr. H. Kadirun Yahya menjelaskan selanjutnya sebagai pedoman dari Tarikat Naqsyabandiyah adalah sebagai berikut : 1. Tarikat ini adalah Tarikat Naqsyabandiah berdasarkan dalil Al Qur’an, Al Hadis, Ijma’ dan Qiyas. 2. Bermazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 3. Bermazhab Syafi’iah dalam bidang fikih. 4. Pengamal tarikat tidak boleh mengabaikan atau meninggalkan syariat, sebab antara keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Antara syariat dan tarikat adalah ibarat bawang. Kulit bawang itu sendiri sekaligus adalah isinya dari lapisan pertama sampai dengan lapisan terakhir. Kulit bawang adalah hakikat bawang itu sendiri dan sebaliknya, hakikat bawang adalah kulitnya itu sendiri. Begitu pulalah halnya antara syariat dan tarikat, antara syariat dan hakikat. Tarikat itu adalah pengamalan syariat itu sendiri. (Fatwa Hari Guru 20 Juni 1996).

No comments: