Saturday 22 January 2011

Sufi's Life - Mengenal Lata'if




Ada 5 tingkatan Lata'if Posisi Hatii ( The Stations of the Heart)

1. Tingkat pertama Maqamal Hati ( Qalb ) : Latifat al Qalb (Ilmiya : all knowledge, Ya Sayed : solihin )

Merupakan tingkatan masuknya ilmu pengetahuan ilmiah Setan bisa masuk dalam posisi ini, dan mengerti apa yang kalian akan lakukan. Inilah sebabnya mengapa kalian kadang2 memiliki pikiran buruk. Kalian terganggu ketika sedang sholat, kalian merasa dicurangi ketika bekerja dan merasa curiga.

Maqam ini dibawah otoritas Nabi Adam as karena mencerminkan aspek fisik dari hati. Warna cahaya dari hati adalah kuning, sense indra : pendengaran

2.Tingkat kedua Posisi dari Rahasia (sirr) :
Latifat as-Sirr
( Ruhiyya : spirituality, Hearing Seeing, Ya Sahib )

Pada posisi ini terdapat perbedaan yang nyata antara sadar dan bawah sadar. Merupakan posisi Ruhiyah atau spiritual. Indra keenam pada posisi inia dapat mengenali informasi dan Ramalan vision spiritual, dimana Allah memberikan rahasia kepada setiap individu umat manusia . Penyaksian spiritual vision dengan pendengaran dan penglihatan / penyaksian.

Dibawah otoritas Nabi Nuh as, karena merupakan kapal penyelamat dari Lautan Kegelapan dan penyelamat dari banjir ketak pedulian dan kebodohan.Cahaya hati dalam posisi ini adalah Merah. Para suhada dan Guru-guru dari 40 tarikat lain hanya dapat memasuki hingga posisi kedua ini, sementara guru2 tarikat Naqsbandy bisa lebih jauh mencapai posisi ketiga.

3.Tingkat ketiga : Rahasia dari Rahasia (sirr as sirr) : Latifat Sirr as Sirr (Mithaliya : Perfecting, Balanced being, Ya Sadiq )

Tingkat kesempurnaan Spiritual dari kepastian, kehalusan hati. Tingkat para siddiqiun. Dibawah otoritas Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as. Nabi Ibrahim adalah symbol Kalifah di Bumi dan Musa as diberikan kelebihan dapat mendengar dan berbicara dengan Allah, dua atribut yang penting dalam mengenal ilmu pengetahuan Allah. Warna cahaya hati dari rahasia dari rahasia adalah Putih. Gambaran sempurna dalam posisi ini adalah pencapaian kesempurnaan Rasulullah saw merupakan gambaran terbaik kesempurnaan ciptaan Allah.

4. Tingkat keempat Yang Tersembunyi (Khafa): Latifat al Khafa (Jismiyya, Insan Kamil, Ya Rasul)

Kesempurnaan Fisik dari Insan Kamil, dibawah otoritas Nabi Isa as , karena hubungannya dengan Pengetahuan Tersembunyi, ia mewakili pemahaman Spiritual . Insan Kamil adalah ketika kesempurnaan jiwa tercermin dalam penampilan fisik dan menjadi image of perfection Muhammadiun. Hanya Rasulullah saw saja yang dapat memasuki posisi ini

5. Tingkat kelima Yang Paling Tersembunyi (Ahkfa) : Latifat al Ahkfa (Dhatiyaa :Essence, Ya Allah, Huwa)

Posisi dari Kehadiran, Hakikat. Tingkat ini hanya diketahui oleh Allah saja. Allah Huwa. Merupakan realitas Nabi Muhammad saw, karena hanya Rasulullah saw yang memiliki posisi diatas semua Nabi. Dalam Isra Miraj Nabi saw menyaksikan Kehadiran Allah swt. Direpresentasikan dalam Kalimah La ilaha illallah Muhammadur rasul Allah. Colour : Cahaya Hati dari Yang Paling Tersembunyi adalah Hitam. Allah memiliki rahasia penciptaan dalam genggamannya, tak ada seorangpun tahu kecuali Allah.

Sumber : Nurmuhammad.com

Sufi's Life - Mutiara tasawuf Hasan al-Bashri




Hasan al-Bashri adalah salah seorang tokoh sufi awal baik dalam arti umum atau pun dalam arti harfiahnya, karena ia selalu mengenakan jubah dari bulu domba (shûf) sepanjang hidupnya. Sebagai putra dari perempuan yang dimerdekakan (dari Ummu Salamah, isteri Nabi saw.) dan laki-laki yang dimerdekakan (dari Zaid Ibn Tsabit, putra angkat Nabi saw.), Imam Besar dari Bashrah ini adalah seorang pemimpin para wali dan ulama pada masanya. Beliau sangat dikenal luas karena pengejawantahannya yang menyeluruh dan ketat terhadap sunah Nabi saw.. Beliau juga terkenal karena pengetahuannya yang luas, kesederhanaan dan kezuhudannya, protesnya yang berani terhadap penguasa, dan daya tariknya baik dalam perkataan atau penampilannya.

Ibnu al-Jauzi menulis sebuah buku setebal seratus halaman tentang kehidupan dan kebiasaannya dengan judul Adab al-Syaikh al-Hasan Ibn Abil-Hasan al-Bashri. Ia menyebutkan sebuah riwayat bahwa, tatkala wafat, al-Hasan meninggalkan sebuah jubah wol putih yang telah ia pakai sendiri selama dua puluh tahun, baik di musim dingin atau di musim panas. Jubah tersebut masih dalam keadaan bagus, bersih, rapi dan tak ada kotoran.1

Dalam sebuah buku yang khusus mencatat perbuatan-perbuatan kaum sufi, Ibn Qayyîm meriwayatkan:
Sekelompok perempuan keluar pada hari `id dan berusaha melihat orang-orang. Mereka ditanyai, “Siapakah orang paling elok yang kalian lihat pada hari ini?” Mereka menjawab, “Itu syekh yang mengenakan turban hitam.” Yang mereka maksudkan adalah Hasan al-Bashri.

Hafiz hadis Abu Nuaim al-Isfahani (w. 430H) menyebutkan bahwa murid al-Hasan, yaitu Abdul Wahid Ibn Zaid (w. 177H), adalah orang pertama yang membangun khâniqa sufi, atau rumah singgah sekaligus tempat belajar di Abadan di perbatasan Iran dan Iraq di masa sekarang.
Atas dasar kemasyhuran Hasan al-Bashri dan murid-muridnya sebagai sufi, Ibn Taimiyyah menyatakan, “Tempat asal mula tasawuf adalah Bashrah.”
Pernyataan tersebut tidaklah tepat. Lebih tepatnya, Bashrah menonjol di antara kemasyhuran tempat-tempat perkembangan formal mazhab-mazhab penyucian diri yang kemudian dikenal sebagai tasawuf, dan yang prinsip-prinsipnya tidak lain bersumber dari Alquran dan Sunah, sebagaimana telah ditunjukkan secara panjang lebar sebelumnya.

Al-Ghazâlî meriwayatkan kata-kata dari al-Hasan tentang Jihâd al-nafs bahwa Hasan al-Bashri mengatakan:
Dua fikiran berkecamuk di dalam jiwa, satu dari Allah dan satu dari musuh. Allah menunjukkan rahmatnya kepada seorang hamba yang tetap dengan fikiran yang datang dari-Nya. Ia memelihara fikiran yang datang dari Allah, seraya berjuang melawan fikiran yang datang dari musuh. Untuk menggambarkan tarik-menarik antara dua kekuatan ini di dalam hati, Nabi saw. bersabda, “Hati seorang mukmin berada di antara dua jari Yang Maha Pengasih (al-Rahmân)” . . . Kedua jari tangan tersebut membiarkan gejolak dan ketidakpastian di dalam hati . . . Apabila seseorang mengikuti dorongan kemarahan dan kesenangan, dominasi setan muncul di dalam dirinya melalui nafsu rendahnya dan hatinya menjadi tempat bersarang dan bersemayamnya setan, yang terus menerus memasok tuntutan hawa nafsunya.
Apabila ia berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak membiarkan mereka menguasai diri (nafs)-nya, maka berarti ia sedang meniru sifat-sifat malaikat. Pada saat ini, hatinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi para malaikat dan mereka akan berhamburan datang ke sana.

Gambaran mengenai betapa tingginya ketakwaan dan kewarakkan Hasan al-Bashri disampaikan oleh pernyataannya berikut, yang juga dikutip oleh al-Ghazâlî:
Kelalaian dan harapan adalah dua berkah Allah yang diberikan kepada anak-cucu Adam; akan tetapi untuk keduanya kaum Muslim tidak akan berjalan di jalan raya.7

Sumber: Tasawuf dan Ihsan, Syeikh Muhammad Hisyam Al Kabbani

Sufi's Life - Jalaliah dan Jamaliah Allah




Asmâ al-Husnâ digolongkan ke dalam dua bagian besar, jalâliyah dan jamâliyah.

Jalâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keagungan dan kebesaran Allah SWT, seperti al-Akbar (Maha Besar), al-Azhîm (Maha Agung), al-Qawiy (Maha Kuat), dan al-Qadîr (Maha Kuasa).

Sedangkan jamâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keindahan dan kelembutan Allah, seperti al-Rahîm (Maha Penyayang), al-Ghafûr (Maha Pengampun), al-Lathîf (Maha Lembut), dan al-Rahmân (Maha Penyayang).

Aspek jalâliyah adalah sesuatu yang sangat bernilai luar biasa, sangat tinggi, tak terjangkau dan tak ada bandingannya dengan makhluknya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga sekaligus indah, dekat, akrab, penuh cinta, dan sifat-sifat kelembutan lainnya yang terangkum dalam aspek jamâliyah.

Meskipun Allah Maha Penghukum, Maha Penyiksa, Maha Pendendam, Maha Keras, tetapi diri kita luput dari itu. Allah Maha Pencinta. Tidak ada kekerasan dalam cinta. Yang namanya cinta, lapar dan haus tidak terasa. Luka dan bisa bukan derita. Maka dari itu, di bulan suci Ramadlan orang bisa melaksanakan puasa dengan penuh rasa cinta kepada Allah Swt, sehingga puasa yang dilakukan secara berjama'ah itu dirasakan mudah. Dikatakan dalam Hadis:
"Berkah itu terletak pada jamaah".

Nama-nama keagungan lebih berhubungan dengan ketakterbandingan Allah dan hamba-Nya. Jika kita merasakan diri kita tak terbandingkan dengan Allah SWT, ini tidak salah. Akan tetapi, kalau kita menekankan aspek keserupaan, nama-nama jamâliyah Allah yang kita tonjolkan, itu juga tidak salah. Sebab, memang apa yang Allah ciptakan di dalam diri kita semuanya itu berasal dari Allah SWT.

Wajar kalau terjadi keserupaan-keserupaan. Allah Maha Pencinta, kita juga idealnya mencintai sesama. Allah Maha Pengasih, kita juga idealnya mengasihi antar sesama. Allah Maha lembut, kita juga harus lembut dengan sesama.

Mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat kelembutan Allah itu satu kenikmatan tersendiri. Semakin kita meniru sifat kelembutan Allah, semakin halus budi pekerti ini.

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk merasakan kehalusan budi pekerti, cukup kita mencoba melakukan pendekatan diri kepada Allah, dengan cara belajar al-Asmâ al-Husnâ.

Contohilah sifat-sifat yang bisa kita contoh, terutama sifat jamâliyah-Nya. Akhlakul Karimah pasti akan terpelihara, tanpa harus melalui penataran-penataran, cukup dengan kedekatan diri kita kepada Allah SWT.

Nama-nama yang dipandang berbeda satu sama lain itu bukan berarti bahwa Allah kontradiktif, apalagi plin-plan. Dualitas itu ada dalam kaitannya dengan makhluk. Allah sendiri tidak merasakan dirinya memiliki sifat kontradiktif. Hanya kita yang memandang itu kontradiktif.

Bukankah diri kita juga kalau dilihat orang lain seringkali tidak konsisten? Di satu tempat, seseorang bisa tampil sebagai malaikat, di tempat lain tanpil sebagai iblis. Satu sisi penyelamat, tetapi sisi lain perusak. Namun demikian itu tetap menjadi bagian diri kita.

Kita keras pada waktu itu, karena keadaan menghendakinya. Tampil halus pada saat ini, karena keadaan menghendakinya. Dua-duanya bagian dari kita. Tidak ada pertentangan. Sifat-sifat Allah pun demikian. Dia adalah utuh pada dirinya sendiri. Itulah Ahâdiyat al-Wâhid.

Kita bisa mendekati Allah dari kedua aspek itu. Aspek jalâliyah Allah biasanya kita dekati melalui pendekatan rasional seperti dalam fiqh dan ilmu kalam (teologi). Hasilnya adalah kita membayangkan diri kita sangat jauh dengan Tuhan. Allah Maha Suci, kita sama sekali sangat kotor.

Waktu usia anak-anak, kita sering membayangkan Allah itu Maha Hebat dan segalanya sehingga tidak ada kemampuan bagi kita untuk mengidentifikasikan diri dengan Allah. Akibatnya, kita sangat takut kepada yang serba maha itu. Takwa pun diartikan takut. Sebagai efeknya, kita beribadah, shalat dan puasa pun dilakukan karena takut dan tunduk. Ada tersimpan beban-beban, terpaksa, dan keharusan.

Ini sangat berbeda kalau kita memakai pendekatan kalbu seperti dalam tasawuf. Allah seperti ada dalam diri kita (immanent). Tuhan tidak jauh bahkan ada dalam diri kita. Maka yang timbul bukan takut, tetapi cinta, karena Allah begitu dekat. Maka yang timbul adalah kepasrahan diri dan keterpesonaan.

Shalat dan puasa tidak lagi terasa sebagai tunduk kepada Tuhan, melainkan bagian dari kecintaan terhadap Tuhan. Nikmat sekali beribadah kepada Allah kalau kita menggunakan pendekatan tasawuf.

Kedua pendekatan ini jangan dipertentangkan. Tidak ada tasawuf tanpa syariat. Seorang hamba Tuhan tidak akan terpikir untuk mempertentangkannya satu sama lain. Akan tetapi, dia akan selalu mempersatukan. Prinsipnya preinciple of identity, bukan principle of negation.

Jangan berfikir kontradiktif, melainkan integratif. Orang yang kelebihan beban dalam hidupnya seringkali berfikir kontraproduktif. Di sinilah pentingnya kajian tasawuf, bisa melembutkan hati yang kasar, meluruskan pikiran yang bengkok, dan memutihkan jiwa yang kotor./taq

Sumber: Newsroom Republika

Sufi's Life - Tarekat Qadiriyah

Bismilahir Rahmanir Rahiimallah
Allahuma soli ala Syyaidina Muhammad wa’ala ali syyaidina Muhammad
Sekilas Tarekat Qodiriyah

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 18 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Bagdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syaikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syaikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Tarekat Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat Adab Qodiriyah (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Sultan Auliya Syaikh Abdul Qodir Jilani Qsa
Bismilahir Rahmanir Rahiim
Beliau adalah Syaikh Muhiyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Saleh Jinki Dusat bin Musa Al-Juun bin Abdullah Al-Mahdh bin Hasan Al-Mutsana bin Amirul Mu’minin Abu Hasan bin Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalaib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luat bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Madhr bin Nadzaar bin Ma’ad bin Adann Al-Qurasy Al-Alawi Al-Hasani Al-Jiili Al-Hambali.
Beliau adalah cucu dari Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i pemimpin para Zuhad (asketis) dan salah seorang Syaikh kota Jilan serta yang di anugerahi berbagai karamah. Syaikh Abu Abdullah Muhammad Al-Qazwaini berkata,”Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i adalah seseorang yang mustajab doanya. Apabila dia marah maka Allah Swt akan segera menghancurkan yang dimurkainya dan apabila dia menyenangi sesuatu maka Allah Swt menjadikan sesuatu tersebut sesuai yang di kehendakinya.” dibalik kerapuhan badan kerentaan usianya, beliau masih konsistennya melaksanakan amalan sunah dan berzikir. kekhusyu’annya dapat dirasakan oleh semua orang, sangat sabar dalam kekonsistenannya dan sangat menjaga waktunya. Beliau sering mengabarkan tentang sesuatu yang belum terjadi dan kemudian terjadi seperti yang beliau kabarkan.
Seorang sahabat Syaikh Muhammad bin Yahya At-Tadafi meriwayatkan,”Suatu saat ketika kami sedang melakukan perjalanan Niaga, segerombolan perampok menyerang kami di padang pasir Samarkhan, saat itu ada yang berteriak memanggil Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i dan berikutnya beliau muncul di tengah-tengah kami seraya mengucapkan “Subbuhul Quddus menjauhlah dari kami. Gerombolan perampok itu tercerai berai. Setelah selamat dari serangan itu kami mancari sang Syaikh dan tidak menemukannya, dia raib begitu saja. Setibanya kami di Jilan, kami menceritakan hal tersebut kepada orang-orang dan mereka berkata,”Demi Allah, sang Syaikh tidak pernah hilang dari tengah kami.
Ibu beliau adalah Fathimah binti Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i, meriwayatkan,”Setelah lahir Anakku Abdur Qodir Jilani tidak mau menyusu pada bulan Ramadhan. oleh karena itu, jika orang-orang tidak dapat melihat Hilal penentuan bulan Ramadhan, mereka mendatangiku dan menanyakan hal tersebut kepadaku. Jika aku menjawab, Hari ini anakku tidak menyusu maka orang-orang di Jilan telah mengerti bahwa bulan ramadhan telah tiba. Bahwa beliau bayi yang tidak menyusu pada bulan ramadhan adalah sesuatu yang Masyhur di Jilan.
Diriwayatkan bahwa saat mengandung beliau usia ibunya 60 tahun. Ada yang menyatakan bahwa tidak ada perempuan yang hamil pada usia 60 tahun kecuali wanita Quraisy dan tidak ada wanita yang dapat hamil pada usia 50 tahun kecuali wanita Quraisy.
Syaikh Abdul Qodir Jilani QsA, tetap berada dalam pengasuhan orangtuanya hingga mencapai usia 18 tahun. Saat itulah, bertepatan dengan meninggalnya Syaikh At-Tamimi (488 H), beliau pergi ke Baghdad. Waktu itu yang berkuasa adalah sultan Al-Mustadzhir Billah Abu abbas Ahmad bin Al-Muqtadi bin Amrillah Abul Qosim Abdullah Al-Abbas.
Syaikh Taqiyuddin Muhammad Al-Waidz Al-Lubnani dalam kitabnya Al-Mausum bi Raudhah al-abrar wa Mahasin al-Akhyar meriwayatkan ketika Syaikh Abdul Qodir Jilani hendak memasuki kota baghdad, beliau menjumpai Khidr as. berdiri di depan pintu, menghalanginya masuk kota dan berkata,”Aku tidak memiliki perintah yang memperbolehkan mu memasuki baghdad hingga 7 tahun ke depan.” Syaikh Abdul Qodir Jilani yang ketika itu berusia 18 thun, akhirnya bermukim di tepian Baghdad dan hidup dari sisa-sisa makana selama 7 tahun. Hingga pada suatu malam ditengah hujan deras, sebuah suara berkata kepadanya,”Abdul Qodir”, masuklah ke Baghdad. Beliaupun memasuki Baghdad dan menuju ke Mushalla Syaikh Hamad bin Muslim Ad-Dabbas. Sebelum beliau tiba Syaikh Hamad memerintahkan murid-muridnya untuk mematikan lampu dan menutup semua pintu.
Ketika tiba dan mendapati pintu tertutup serta lampu sudah dimatikan, Syaikh Abdul Qodir Jilani duduk di depan pintu dan tertidur lalu bermimpi basah. Bangun dari tidurnya beliau langsung mandi besar lalu kembali tidur dan kembali bermimpi. Beliau kemudian bangun dan besar. Hal tersebut terus berulang sebanyak 17 kali.
Saat subuh tiba, pintu dibuka dan masuklah Syaikh Abdul Qodir, Syaikh Hamad bangkit menyambutnya ,memeluknya dan menangis sambil berkata,”Anakku Abdul Qodir, saat ini negeri ini milik kami dan besok akan menjadi milikmu. Apabila engkau berkuasa kelak berlaku adillah terhadap orang tua ini.
Diriwayatkan oleh Syaikh I.Nurrudin Abu Hasan Alibin Yusuf bin Jarir bin Ma’dhad bin Fadl Asy-Syafi’i Al-Lakhmi, pengarang kitab Bajat Al-Asrar,” Wahai yang kedatangannya merupakan awal dari kebahagiaan bagi negeri yang kelak menjadi tempat tinggalnya (Baghdad), diikuti awan Rahmat yang menutupi seluruh daerahnya, berlipat ganda hidayahnya di dalamnya sehingga para Wali Abdal dan Awtadnya kembali bersinar, utusan-utusan berdatangan mengucapkan Selamat sehingga setiap hari di dalamnya merupakan hari besar.

Sufi's Life - Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi



Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang di dalam keadaan normal.

Apa dan bagaimana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam lima tulisan bersambung
Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi


• Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak permanen, kenapa?
• Bagaimana kiat mempertahankan maqam yang sudah dicapai dan senantiasa meningkat terus?
• Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?

Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut anatara lain: Taubat, shabr, qana’ah, wara’, syukr, tawakkal, ridha, ma’rifah, mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.

Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata Jihad berati berjuang secara fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berati berjuang dengan olah batin. Sedangkan riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela. Seakar kata dengan kata ridhwan berarti kepuasan dan kesenangan. Mujahadah dan riyadhah adalah dua hal yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.

Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri dari dosa-dosa kecil (muru’ah), melakukan amalia-amaliah rutin seperti puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunnat lainnya, tidak meninggalkan shalat-shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan shalat-shalat sunnat lainnya, mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, dan memperbanyak amal-amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta meninggalkan nafsu amarah dan cinta dunia berlebihan.

Ketika seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah maka secara otomatis orang itu menapaki anak-anak tangga lebih tinggi. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanyaoleh kuantitas tetapi juga kualitas mujahadah dan riyadhah itu. Ada orang yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga tetapi sulit lagi untuk naik ke maqam berikutnya karena tingkat mujahadah dan riyadhah-nya pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam anak-anak tangga bawah. Semuanya tergantung konsistensi (istiqamah) seseorang.

Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula lalu berupaya dengan melakukan mujahadah dan riyadhah maka yang bersangkutan akan melahirkan sejumlah perubahan mendasar di dalam dirinya, yang dilihat dan dirasakan oleh bukan hanya diri yang bersangkutan tetapi juga orang laing, terutama bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik maka nampaknya banyak yang ketagihan, bahkan semacam ketergantungan, seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya. Itulah sebabnya muncul fenomena keagamaan melakukan uzlah dan pengembaraan dari mesjid ke mesjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual baru.

Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya. Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya, sehingga mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih setback lagi ke belakang. Kedua kutub ”ekstrim” ini disebabkan oleh kurangnya pengenalan teoritis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung menjadi practicing tanpa pernah memperoleh introductions dari guru spiritual yang berpengalaman.

Fenomona kehidupan spiritual di masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus. Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya multiple shock sedang melanda umat kita. Bukan hanya cultural shock seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Futur Shock.

Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, melainkan juga umat-umat agama lain. Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masayarakat dirasakan pemeluknya sudah termakan usia. Dengan demikian terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati dan jalan pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan. Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu dilampiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan massif tadi.

Clifford Geertz dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala pemeluk dan ajaran agama sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi yang gamang. Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama lain. Akan muncul suatu kelompok moderat bahkan liberal, yang akan mengakomodasi dan memberikan pembenaran keagamaan terhadap perkembangan dunia modern, dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya pendekatan kontekstual, atau metode hermeneutik. Ayat-ayat dan hadis direkayasa sedemikian rupa untuk menjastifikasi kehendak zaman.

Kelompok ini sepertinya sudah pasrah dengan kehendak zaman. Akhirnya seolah-olah Al-Qur’an dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, buakan lagi Al-Qur’an dan hadis yang harus memandu perkembangan zaman.

Pada saat bersamaan akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi mereka. Mereka merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka merindukan situasi kenabian (prophetic system) untuk mewadahi kecenderungan emosi keagamaannya. Mereka serta merta menolak gagasan pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler, liberal, pluralisme, jahiliyah modern, deislamisasi, gerakan zionis, kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat. Belum lagi atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok masyarakat (Arab) yang diidealisirnya sebagai komunitas ideal. Padahal, tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia tetapi sambil meraih insan kamil, manusia paripurna.

Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang seriang dialami orang, yaitu hal dan maqam. Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang yang sedang mengalami spiritual moddd, ketika seseorang sedang hanyut dengan suasana batin tertentu, yang biasanya karena dipicu kejadiankejadian tertentu pada dirinya, misalnya ia baru saja ditimpa musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan berat, atau baru saja mengikuti majlis zikir yang mempesonakan dirinya.

Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada, tawadlu’, syukur, tawakkal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu dekatnya dengan Tuhan.

Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Namun orang ini masih fluktuatif, tergantung mood-nya.

Sedangkan maqam kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasasana batin yang dialaminya bukan karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa khusus melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang.

Namun tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu memahami kiat-kiat khusus. Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual memang diperlukan dalam hal meningkatkan hal menjadi maqam. Di sinilah tarekat berperan untuk mengorganisir jamaah untuk melakukan mujahadah dan riyadhah secara sistematis.

Sistem setiap tarekat bervariasi, tergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius menekuni dunia suluk.

Salik modern tidak mesti harus melakukan perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak tepat mendramatisir diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”. Sufi atau salik yang sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang dialaminya di depan orang lain.
Jika ada salik yang suka memamerkan ke salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik sejati memilih untuk tidak populer dibumi untuk populer di langit (majhul fil ardh ma’lum fis sama’).

Di atas langit masih banyak langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah dan kotor, atau menganggap salik selainnya keliru.

Dalam Q.S. al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa aja. Oleh karena itu, kitapun harus hati- hati membaca orang, sebab Tuhan Maha Pintar menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan. Hati-hati!

Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri berarti sudah sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain berati sudah selesai belajar, karena sudah

Sumber: Republika Newsroom

Friday 21 January 2011

Sufi's Life - Sekilas Tentang Abah KH. M. Zen Sukri

K.H.M. ZEN SYUKRI 'Beliau adalah anak bungsu dari pasangan H. Hasan Syukur bin H. Abdusy Syukur dan Nyimas Hj. Solha binti Muhammad Azhari,kyai yang satu ini terbilang bijaksana dan sangat dihormati di Sumatra Selatan khususnya di Palembang. Beliau sangat akrab dengan panggilan Abah ini,dilahirkan di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1919. Setelah menyelesaikan Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Ahliyah Palembang,beliau meneruskan pendidikan Aliyah di Tebu Ireng,Jombang Jawa Timur dan berguru sekaligus menjadi khoddam K.H. Hasyim Asy'ari,pendiri Nahdhatul Ulama. Disamping itu,beliau juga belajar dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Basri Sansuri. Sekembalinya dari Jawa Timur, K.H.M. Zen Syukri beliau berperan aktif menyemarakan kehidupan beragama di Suwatera Selatan Khususnya di Palembang. Beliau juga belajar agama dengan ayahnya serta pamannya K.H. Kms. Abdul Roni Azhari, K.H. Ali, K.H. Zainal Abidin, K.H. Mgs. Nanang Masri, K.H. Abdul Kohar, K.H.M. Idrus bin H. Abdul Manan, K. Matjtjik, K.H. Mgs. Abdurrahman dan K. Sayyid Salim Jindan. Beliau telah memperoleh ijazah tarekat Sammaniyah dari neneknya Syekh Muhammad Azhari bin Abdullah yang bersambung kepada Syekh Akib bin Hasanuddin,Syekh Abdush Shomad Palembani dan syekhuna syekh as sayyid Muhammad Samman bin Abdul Karim Al Madani. Beliau juga menerima tarekat Qodariyah dari K.H. Salim. Adapun kitab yang telah ditulis beliau adalah : Iman dan menghadapi maut,Pendekatan diri kepada Allah,Futhul Qolbi (santapan jiwa),menyegarkan iman dengan tauhid,Rahasia Sembahyang dan kitab terbaru yang telah terbit Nur 'ala nur.dikutib dari kitab rahasia sembahyang.

Sufi's Life - Tarekat Sammaniyah (Abah KH. M. Zen Sukri / Palembang)



Tarekat ini berkembang pesat di wilayah Afrika bagian utara,terutama Sudan.Di samping Naqsyabandiah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).
Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini berkembang luas.
Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Sudan.
Syekh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.
Syekh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.
Amalan Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berzikir La llaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para murid Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah shalat sunah Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir. Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia. Keempat, menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan). Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun a/aZ-Nya. Bed sya
Syekh Samman Sang Pendiri Sammaniyah 
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm Abdul Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Kemuliaan
Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah di Indonesia
Tarekat Sammaniyah dibawa ke Indonesia oleh empat orang ulama yang dijuluki dengan empat serangkai.
Sebagaimana tarekat-tarekat besar lainnya seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan Syattariyah, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Indonesia. Di bumi nusantara ini, tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M), dibawa oleh sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Mereka yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah terdapat empat orang murid asal Indonesia, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”

Karena peran keempat tokoh tersebut, Tarekat Sammaniyah berkembang di Tanah Air, seperti Aceh, Sumatra Selatan, Jakarta (Betawi), Kalimantan (Banjar), dan Sulawesi (Bugis). Keempatnya berjasa besar dalam memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Indonesia.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Awalnya, Syekh Samman merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. ia kemudian memadukan berbagai unsur tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Menurut Usman Said, dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawuf (1981,258), di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan, Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah sekitarnya. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdussamad al-Falimbani, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan Tarekat Sammaniyah di nusantara, terutama Sumatra dan daerah sekitarnya.
Sedangkan di Jakarta, diperkenalkan oleh Syekh Abdurrahman al-Masri, dan di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarmasin, diperkenalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, yang menjadi menantu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ulama lainnya yang berperan besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durun Nafis (Permata yang Indah). Kitab ini berisi tentang masalah tasawuf.
Menurut Abu Bakar Atjeh, ciri-ciri Tarekat Sammaniyah ini, antara lain, adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah. (Pengantar Ilmu Tasawuf, 1979, 47).
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman, antara lain, memper Syekh Muhammad Asyad Al-Banjari
banyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin. Tidak mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat. sifat, dan afal-Nya.

Penyebaran di Indonesia
Penyebaran Tarekat Sammaniyah di wilayah Sumatra, dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800 M). Menurut riwayat, sebelum ke Palembang, Syekh Abdussamad al-Falimbani dahulunya menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Ia mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu dinyanyikan oleh sekelompok orang.
Menurut Snouck Hurgronje (orientalis yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian). (Usman Said, 1981, 286). Tarian Saman ini. hingga kini sangat terkenal di seantero nusantara yang berasal dari Aceh.
Sebagian ulama Aceh, dulu pernah menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau ditarikan. Tarian Meu-saman atau Seudati ini sedikitnya dimainkan oleh delapan orang pria atau wanita.
Kendati awal mulanya berkembang di Aceh, namun penyebaran Tarekat Sammaniyah berkembang luas di Palembang (Sumatra Selatan), tempat kelahiran Syekh Abdussamad Al-Falimbani, yakni sekitar abad ke-18.
Martin Van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul “Tarekat dan Politik; Amalan untuk Dunia dan Akhirat”, Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Tanah Suci oleh murid-murid Abdussamad Al-Falimbani. Menurut Van Bruinessen, Syekh Abdussamad al-Falimbani adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia.
Sementara itu, di daerah Kalimantan Selatan, perkembangan Tarekat Sammaniyah ini, menurut Zulfajamalie dalam Menelusuri Penyebaran Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar, dilakukan oleh tga ulama terkenal. Mereka adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis,
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.
Syekh Muhammad Arsyad, jelas Zulfajamalie, menyebarkan Tarekat Sammaniyah di daerah Kalampayan Martapura, Syekh Muhammad Nafis di daerah Kelua (Kabupaten Tabalong), dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis di daerah Tanah Laut, Kota Baru, Pagatan, dan daerah sekitarnya.
Sepeninggal ketiga tokoh tersebut, penyebaran Tarekat Sammaniyah diteruskan oleh ulama-ulama lainnya dan sebagian masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di antaranya Syekh KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Ijai, wafat 2005) di daerah Sekumpul (Martapura), dan Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Bangil, Jawa Timur).
Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999, 66), menyebutkan, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah.
Hal senada juga diungkapkan Laily Manshur dalam Kitab ad-Durun Nafis, Tinjauan atas Ajaran Tasawuf dan Ahmadi Isa dalam Syekh Muhammad Nafis dan Kitabnya al-Durr al-Nafis.
Ada beberapa alasan mengenai penyebaran Tarekat Sammaniyah yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari di Kalimantan Selatan. Pertama, Laily Manshur menulis, Muhammad Nafis juga berguru pada Syekh Muhammad Samman. Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma wa al-Shifat iva al-Zat al-Taqdis, berisi pelajaran tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat, dkn afal dan ditulisnya pada 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Makkah. Termaktub pengakuannya bahwa Syafii adalah mazhab fikihnya, Asyari itiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi al-Baghdadi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Syattariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya, dan Sammaniyah minumannya.
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah, Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.
Wa Allahu Alam.