Thursday 3 February 2011

Sufi's Life - Pembenci Rasulullah Terpanggang Di atas Qubbah Khadlra (Qubah Hijau Makam Rasulullah)



Terjemah:
Dikutip dari Syekh az-Zabidi: “Para musuh Rasulullah setelah mereka selesai menghancurkan makam-makam mulia di komplek pemakaman al Baqi’; mereka pindah ke Qubah Rasulullah untuk menghancurkannya. Salah seorang dari mereka lalu naik ke puncak Qubah untuk mulai menghancurkannya, tapi kemudian Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut yang dengan hanya satu kali hantaman saja orang tersebut langsung mati hingga -raganya- menempel di atas Qubah mulia itu. Setelah itu tidak ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut dari atas Qubah; selamanya. Lalu ada salah seorang yang sangat saleh dan bertakwa mimpi diberitahukan oleh Rasulullah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut. Dari sini kemudian orang tersebut “dikuburkan” ditempatnya (di atas Qubah; dengan ditutupkan sesuatu di atasnya) supaya menjadi pelajaran”.
foto tahun 1427 H

Sufi's Life - Kitab Tanwirul Qulub (Ahlusunnah) Vs Kitab Sesat Wahhaby “Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i ” (P.I.S)

Bedah Kitab Tanwirul Qulub
Kitab Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub adalah sebuah kitab yang masyhur di dunia Islam. Kitab ini adalah salah satu ‘kitab wajib’ yang dipelajari pada hampir seluruh pesantren di Indonesia. Penulisnya adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi yang kadang-kala juga disebut Syaikh Sulaiman al Kurdi. Beliau dilahirkan pada paruh kedua abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak, sebuah kota yang cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika Serikat atas negeri itu.
Ayah beliau adalah seorang Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir al Jaelani. Guru beliau yang terkenal adalah Syaikh al Quthub, Mulana Umar, seorang wali Allah yang tinggal  di Irbil, Irak. Guru beliau inilah yang banyak menggembleng beliau dengan ilmu-ilmu syari’at dan thariqat, sehingga membuat beliau memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir dan batin.
Syaikh Amin al Kurdi adalah seorang pelajar yang gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu agama dari guru-guru besar yang masyhur pada zaman beliau. Setelah menamatkan pelajaran di Irbil beliau memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakkal kepada Allah dan doa dari para guru, beliau memulai perjalanan ke Hijaz dengan menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Beliau tinggal di Mekkah belajar dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal sholih. Pada tahun 1300 H. beliau berangkat ke Madinah dan menetap di sana, belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud.
Pada akhir usia beliau, beliau pindah ke Mesir karena didorong rasa rindu dan cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah SAW., yang saat itu sangat banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah sendiri. Saat menetap di Mesir inilah beliau meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari kitab fiqih as Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Tercatat guru beliau dalam fiqih adalah: Syaikh Asymuni danSyaikh Musthafa ‘Izz as Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al- Azhar paling terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis beliau belajar dari Syaikh Samin al Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan kitab Shohih Bukhari dan Muslim, Musnad as Syafii, al Muatha’ Imam Maliki, serta Tafsir Baidhawi.
Beliau diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Kemasyhuran beliau menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan, beliau wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam Tajuddin as Subki.
Isi Kitab dan Pandangan Penulis
Kitab Tanwirul Qulub dibagi atas tiga bagian besar. Pertama, bagian Aqidah Biddiniyyah terdiri atas 3 bab. Kedua, bagian Fiqih terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal. Dan ketiga, bagian Tasawwuf dibagi atas 22 pasal.
Pada pembahasan akidah dengan terang-terangan beliau mengatakan bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al Asy’ariyah dan Maturidiyah saja dengan menyertakan dalil-dalil aqli dannaqli serta menolak suybhat yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah (halaman 66).
Beliau mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib atas Allah antara lain:Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashr, Kalam, Qadirun, Muridun Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakalimun.
Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Bighayrih, Ta’addud, Ajz, Karahah, Jahil, Maut,  Saman, Umy, Bukm, Kaunuhu Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Asam, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkam
Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Dalil atas sifat ini adalah surat Al Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.”
Dalam bab Fiqih beliau menjelaskan dalam kitabnya secara lengkap pada hampir seluruh permasalah fiqih Imam Syafii. Meskipun pembahasannya tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafii, karena di samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis nabi. Dibandingkan dengan kitab-kitab sejenisnya, misalnya kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin, kitabTanwirul Qulub ini memiliki keunggulan tersendiri. Di mana dalam kitab ini terdapat pembahasan bab Fara’idh (warisan) dengan cukup lumayan luas, yang tidak terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar itu.
Sedangkan dalam pembahasan Tasawwuf, beliau memulainya dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawwuf, yaitu: 1. Taqwa kepada Allah, wara’ dan istiqamah, 2. Mengikuti sunnah nabi perkataan dan perbuatannya, 3. Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal kepada Allah, 4. Ridha, dan  5. Taubat dan Syukur kepada Allah.
Sedemikian kokohnya pemahaman beliau atas tiga prinsip dasar akidah, fiqih dan tashawwuf itu, sehingga beliau mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab yang Empat saja. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan bahwa dia terlepas dari Madzhab yang Empat serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasukorang yang sesat lagi menyesatkan!
Menurut beliau, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada hal-hal duniawiyah. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang Empat. (Lihat Tanwirul Qulub, halaman 65-66,  cetakan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut).
Sanjungan dan Kritik
Kitab Tanwir al Qulub ini mendapat sanjungan yang luas dari kalangan ilmuwan di negeri Indonesia. Para ulama pesantren menjadikan kitab ini sebagai ‘kitab wajib’ untuk seluruh pelajar, terutama pesantren di tanah Jawa dan Sumatera. Di negeri Malaysia, kitab ini juga dipakai pada sekolah-sekolah Agama di sana dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Lembaga Bahasa milik Pemerintah Malaysia. Selain dipakai di pesantren, ternyata kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Hidayah, Bandung dengan judul ManusiaBumi Manusia LangitRahasia Menjadi Muslim Sempurna, terbit pada tahun 2010.
Demikian terkenalnya kitab ini di Indonesia, sehingga telah beredar tidak kurang dalam enam edisi cetakan dengan penerbit yang berbeda, meskipun kesemuanya masih dalam bahasa Arab, antara lain: Terbitan Maktabah Keluarga Semarang, Terbitan Surabaya, Terbitan Darul Kutubi al Arabiyah, Indonesia, Terbitan Darul Fikri, Mesir, Terbitan Maktabul Taufiqiyyah, dan terbitan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut, Libanon, yang dilengkapi dengan catatan pinggir oleh Muhammad Riyadl.Sayangnya, edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia hanya ada satu saja, dan itupun tidak dilengkapi dengan teks ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis yang semestinya ada di dalamnya. Dengan keterbatasan ini, orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab sangat sulit untuk menikmati apalagi memahamkan, dan meyakini  kitab penting ini.
Salah satu penyebab kitab ini masyhur dan tersebar di Indonesia adalah isi kandungannya yang bersesuaian dengan faham yang dianut oleh hampir seratus persen rakyat Indonesia. Dalam akidah misalnya, sudah dimaklumi bahwa faham masyarakat luas adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah al Asy’ari, sedangkan dalam fikih juga dimaklumi bahwa hampir seratus persen bangsa Indonesiabermadzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang tashawwuf, mayoritas penganuttashawwuf di negeri ini adalah penganut thariqat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Dan kalaupun mungkin ada orang tidak menganutnya, paling tidak masyarakat luas sudah menerima dan tidak menolak keberadaan aliran thariqat yang sudah dianggapmu’tabarah, dalam hal ini tentu termasuk ajaran tariqat an Naqsyabandiyah ini.
Kritik dan Kecaman
Secara umum kritik bahkan kecaman sudah sering dialamatkan kepada para penganut aqidah al Asy’ariyah dan khususnya para penganut ajaran thariqat. Sebut misalnya kitab Manhaj al Imam asy-Syafii fi Itsbati al Aqidah oleh Doktor Muhammad bin Abdul Wahab al Aqil, terbitan Maktabah Abwa asy Salaf, Riyadl, tahun 1998 M. Dalam edisi bahasa Indonesia, kitab ini diberi judul Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i, penterjemah Nabhani Idris dan Saefuddin Zuhri, terbitan Pustaka Imam Syafi’itahun 2002.
Keberadaan kitab itu cukup menghebohkan para ulama Indonesia, bahkan juga masyarakat awam karena isinya dianggap sebagai pemelintiran terhadap Akidah Imam asy-Syafi’i yang dikenal murni pengikut generasi awal Salaf as Shalih, menjadiAkidah Salaf ajaran Ibnu Taimiyyah. Kini, beberapa ulama di Indonesia mulai membahas keberadaan kitab ini, bahkan beberapa di antaranya telah mulai menulis kitab sanggahan, antara lain, Syahamah Jakarta dan LBM Nadhatul Ulama Jember.
Kritik terhadap ajaran thariqat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini pun sudah sangat gencar dilakukan, terutama oleh para pengikut Mazhab SalafiIndonesia antara lain: Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya “Belitan Iblis”, dan buku“Kesesatan Tahlilan dan Yasinan”. Juga Rapot Merah Aa Gym, MQ Dalam Penjara Tasawwuf, oleh Abdurrahman Al Mukaffi, (buku ini sudah penulis jawab dalam buku yang berjudul Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini). Dari luar negeri adalagi kitab terjemahan yang berjudul “Darah Hitam Tasawwuf” oleh Dr. Ilahi Dhohir.
Namun secara spesifik, kritik terhadap kitab Tanwir al Qulub baru sekali dilontarkan oleh seorang ulama Timur Tengah bernama Muhammad Riyadl. Kitab tersebut berjudul Tanwir al Qulub fi Muamalati Allam al Ghuyub, terbitan Darul Kutub al Ilmiyah, Beirut  Lebanon, cetakan pertama tahun 1955 M. Di dalam kitabnya yang tebalnya mencapai 621 halaman ini, Muhammad Riyadl membantah, bahkan menyatakan sesat beberapa masalah yang telah dibahas oleh Syaikh Muhammad Amin al Kurdi. Kritikan terbanyak dilontarkan  terutama dalam pembahasan Aqidah (ushuluddin) dan Thariqat Naqsyabandi.
Salah satu kritikan Muhammad Riyadl yang agak keras adalah masalah sifat WujudAllah, di mana beliau mengatakan wajib meyakini wujud Allah secara dhahiriyah apa yang tertulis pada ayat al Qur’an dengan menolak takwil. Sehingga jika ditanyakan di mana Allah, maka wajib menjawab Allah ada di seluruh tempat, tetapi keberadaan Allah di seluruh tempat itu adalah dengan Ilmu-Nya bukan dengan Dzat-Nya. Kemudian beliau mengatakan lagi, bahwa wajib meyakini Allah itu dengan Dzat-Nya bertempat di langit-Nya, di atas Arasy-Nya, di atas segala yang paling tinggi sesuai dengan Keperkasaan dan Keagungan-Nya! Sebagai penyokong pendapatnya ini dikemukakannya dalil “Dialah Tuhan yang di langit” (QS. Ah Zukhruf: 84) dan firman Allah: “Tuhan yang Ar Rahman duduk di atas Arasy” (QS. Thaha ayat: 5). (Lihat halaman  30)
Hal tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Syaikh Amin al Kurdi yang meyakini Allah itu ada tanpa memerlukan tempat, tanpa memerlukan waktu, dan tidak memiliki pencipta, senada dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini Allah maujud bi la makan, wa la zaman, (Allah ada tanpa tempat dan Allah ada tanpa waktu). Imam Hanafi, seorang Imam dari generasi Salaf as Shalihmengatakan dalam kitabnya al Washiyyah, :“Penduduk surga melihat Allah dengan pasti tanpa mensifati-Nya dengan sifat benda, tidak menyerupai makhluknya dantanpa berada di satu arah pun ” (tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di bumi dan tidak di langit-pen)”. Sementara, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Allah itu ada sebelum adanya tempat, dan sekarang,(setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti semula,yakni  ada tanpa tempat” (lihat kitab al Farq baina al Firaq halaman 333).
Penulis mencoba meneliti ayat al Qur’an yang dikemukakan oleh Muhammad Riyadl,ternyata ayat itu dipotong sedemikian rupa, sehingga tidak sempurna lagi wujud dan maksudnya. Seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.( al Qur’an surat al Zukhruf 84). Sebagai catatan, kata  ‘yang disembah di dalam kurung’ adalah makna takwil yang dilakukan mufassir ahli sunnah. Sayangnya, secara sengaja beliau memotong ayat itu sampai kepada bunyi “Tuhan di langit saja”, lengkapnya “Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit” dengan menghilangkan sambungan berikutnya dari ayat ini yang lengkapnya ada sambungan,“Dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” Dalam kaidah ilmiah, perbuatan menggunting dan memotong dalil agar sesuai selera, dan dapat dipergunakan untuk membela faham sendiri, adalah perbuatan tercela yang pada ujungnya akan merugikan diri sendiri. Bagaimana pun para pembaca yang kritis akan mengetahui juga perbuatan itu setelah meneliti dalil-dalil yang dikemukakan dengan merujuk kepada sumber dalilnya yang asli.
Wallahu a’lam bishowab
Tulisan untuk Islam Digest, Harian Umum Republika dan telah diterbitkan diRepublika versi cetak pada tanggal 28 Februari 2010
http://tengkuzulkarnain.net/

Sufi's Life - Mengenal “Tanda Khatam Nubuwwah” di belakang Tubuh Nabi


Mengenal “Tanda Khatam Nubuwwah” di belakang Tubuh Nabi
picture00041

Gambar pada kulit/sampul Kitab Mukhtasar Al Hizbul Azam adalahn Gambar Tanda/Cap Khatamun Nubuwwah Rasulullah SAW.
Untuk keterangan sila baca Syamail Tirmidhi Bab 2 , m.s. 21-30.
khatam-nubuwwah-sambul-kitab-alhizbul-azhom-2
Tarjamahan Baris Kanan :
“tawajjahu khaitsu syi-ta”
Kamu hadap kearah manapun
Tarjamah Baris Kiri :
“fa innaka manshurin”
Maka sesungguhnya kamu akan dibantu
**Mengenal kitab Al Hizbul azam**
Penulis : Mulla Ali Qaru Rah . (Ali Bin Muhammad Sultan Al-Hawari) wafat : 1014 H/1605 M
sedangkan kitab  Mukhtasar Al Hizbul Azam adalah ringakasan dari kitab tersebut.
Penulisnya : Syaikh sufi Muhammad Iqbal dari Madinah Al-Munawarah.

Dari as-Sa’ib bin Yazid r.a. dikemukakan:

“saudara ibuku membawa aku untuk menemui Nabi s.a.w., lantas ia berkata kepada Rasulullah s.a.w.: ,’ anak saudaraku ini sakit.’
Ketika itu, Rasulullah s.a.w. menyapu kepalaku (as-Sa’ib), mendoakan keberkahan untukku dan berwudhu. Air sisa wudhu’nya lalu kuminum. Setelah itu, aku berdiri di belakangnya; aku memandang kepada khatam (tanda) yang terletak di antara kedua bahunya. Ternyata, khatam itu sebesar telur burung dara.”
(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id dari Hatim bin Ismail, dari Ja’d bin ‘Abdurrahman yang bersumber dari Sa’ib bin Yazid r.a.)
dari Jabir bin Samurah r.a. mengemukakan perihal Khatamun-Nabi sebagai berikut:
“Aku pernah melihat khatam (kenabian)… Ia terletak di antara kedua bahu Rasulullah s.a.w. Bentuknya seperti sepotong daging berwarna merah sebesar telur burung dara.”
(Riwayat Sa’id bin Ya’qub at-Thalaqani dari Ayub bin Jabir, dari Simak bin Harb yang bersumber dari Jabir bin Samurah r.a.)
Seorang wanita bernama Rumaitsah bercerita kepada cucunya, iaitu Ashim bin ‘Umar r.a. sebagai berikut:
“Waktu aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, aku duduk berdampingan dengan beliau s.a.w., begitu dekatnya, seandainya aku mahu mengucup tanda kenabian yang terletak di antara kedua bahunya, tentu dapat kulakukan.
Adapun, sabda beliau yang ditujukan kepada Sa’ad bin Mu’adz di kala meninggal dunia ialah: ‘bergoncang Arasy Allah yang Maha Rahman kerananya (kerana kematian Sa’ad).’”
(Riwayat Abu Mush’ab al-Madini, dari Yusuf bin al-Majisyun, dari bapanya, dari ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah yang bersumber dari neneknya, iaitu Rumaitsah)
Ibrahim bin Muhammad pernah mendengar salah seorang putera ‘Ali bin Abi Thalib k.w. berkata:
“Apabila ‘Ali k.w. menceritakan sifat Rasulullah s.a.w., maka ia akan bercerita panjang lebar. Dan ia akan berkata: ‘Di antara kedua bahunya terdapat Khatam kenabian, iaitu Khatam para Nabi.’”
(Riwayat Ahmad ‘Ubadah ad-Dlabi ‘Ali bin Hujr dan lainnya, yang mereka terima dari Isa bin Yunus dari ‘Umar bin ‘Abdullah, dari ‘Ibrahim bin Muhammad yang bersumber dari salah seorang putera ‘Ali bin Abi Thalib k.w.)
Dalam suatu riwayat, Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri mengadakan dialog dengan Abu Zaid ‘Amr bin Akhthab al-Anshari r.a. sebagai berikut:
“Abu Zaid berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: ‘Wahai Abu Zaid mendekatlah kepadaku dan usaplah belakang tubuhku.’
Maka belakang tubuhnya kuusap, dan terasa jari jemariku menyentuh Khatam. Aku (Alba’ bin Ahmar al-Yaskuri) bertanya kepada Abu Zaid: ‘Apakah khatam itu?’
Abu Zaid menjawab: ‘Kumpulan bulu-bulu.’”
(Riwayat Muhammad bin Basyar, dari Abu ‘Ashim dari ‘Uzrah bin Tsabit, yang bersumber dari Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri)
Abu Buraidah r.a. menceritakan tentang pengalaman Salman al-Farisi sebagai berikut:
“Salman al-farisi datang membawa baki berisi kurma kepada Rasulullah s.a.w. (sewaktu ia baru tiba di Madinah). Baki itu diletakkannya di hadapan Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Wahai Salman! Apa ini?’
Salman menjawab: ‘Ini sedekah buat anda dan sahabat anda.’
Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Angkatlah ini dari sini, kami tidak makan sedekah.’
Baki itu pun diangkat oleh Salman. Keesokan harinya, ia datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di hadapan Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘ Apakah ini wahai Salman?’
Salman menjawab: ‘ Ini adalah hadiah buat tuan.’
Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabatnya: ‘HIdangkanlah!’
Kemudian Salman memperhatikan Khatam yang terletak di belakang Rasulullah s.a.w. (bahagian belakang badannya sebelah atas) maka ia pun (Salman) menyatakan keimanannya kepada Beliau. Salman r.a. adalah budak seorang Yahudi, maka oleh rasulullah s.a.w. ia dibeli dengan beberapa dirham, yakni dengan cara mengupah menanam pohon kurma. Salman bekerja di kebun itu sampai pohon-pohon kurman itu berbuah. Rasulullah s.a.w. membantunya menanam pohon-pohon itu. Di antaranya ada sebatang pohon yang ditanam ‘Umar r.a.
Pohon-pohon itu tumbuh dengan subur, kecuali sebatang pohon yang mati.
Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Kenapa pohon yang satu ini?’
Umar r.a. menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sayalah yang menanamnya.’
Rasulullah s.a.w. pun mencabutnya, kemudian menanaminya lagi, dan tumbuhlah dengan baik.”
(Riwayat Abu ‘Ammar bin Harits al-Khuza’i, dari ‘Ali bin Husein bin Waqid, dari ‘Abdullah bin Buraidah, yang bersumber dari Abu Buraidah r.a.)
Abu Nadirah al-’Aufi pernah bertanya kepada Abi Sa’id al-Khudri perihal khatam. Inilah ceritanya:
Aku bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri perihal Khatam Kenabian Rasulullah s.a.w.
Ia menjawab: ‘ Khatam itu di bahagian belakang badan Rasulullah s.a.w. merupakan daging yang menyembul.”
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Bisyr bin al-Wadlan, dari Abu ;Aqil ad-Dauraqi yang bersumber dari Abu Nadlrah al-’Aufi)
‘Abdullah bin Sirjis menceritakan pengalamannya tatkala bersama Rasulullah s.a.w.:
Aku datang menghadap Rasulullah s.a.w. sewaktu beliau sedang berada di antara sahabat-sahabatnya. Aku berkeliling sedemikian rupa di belakangnya. Rupanya beliau mengerti apa yang kuinginkan, maka beliau melepaskan selendang dari belakangnya, kemudian terlihatlah olehku tempat Khatam Kenabian yang berada di antara kedua bahunya sebesar genggaman tangan, di sekitarnya terdapat tahi lalat, seakan-akan kumpulan jerawat. Sebelum aku kembali, aku menghadap dulu kepada Rasulullah s.a.w., kemudian kukatakan:
‘Wahai Rasulullah, semoga Allah s.w.t. melimpahkan maghfirah-Nya kepada tuan!’
Beliau pun menjawab:
‘Bagimu juga.’
Orang-orang (yang berada) ketika itu bertanya:
‘Apakah Rasulullah s.a.w. memohonkan ampunan untukmu?’
Ia menjawab:
‘Ya, dan juga untuk kalian!’
Kemudian, ia membaca ayat yang bermaksud:
“Dan mohonlah ampun kerana dosamu dan mohonlah ampun untuk orang-orang Mu’min, lelaki dan perempuan.” (Muhammad:19)
(riwayat Ahmad bin al-Muqaddam ‘Abul Asy’ats al-’Ajali al-Bashri, dari Hammad bin Zaid dari ‘Ashim al-Ahwal, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Sirjis)
Abu Haidar
http://salafytobat.wordpress.com

Wednesday 2 February 2011

Sufi's Life - Nasihat Kepada Golongan Yang Fanatik Menyerang Mazhab

Nasihat Kepada Golongan Yang Fanatik Menyerang Mazhab

Di dalam Kitab As Sahwah al Islamiyah, Baina al Ikhtilafil Masyru’ wat Taffaruqil Madzmum karangan Dr Yusuf al Qardhawi ada menyebutkan resolusi yang dikeluarkan oleh Rabitoh ‘Alam Islami pada persidangannya yang ke 10 tahun 1408 Hijrah. Antara teksnya resolusi tersebut :
“Segala puji bagi Allah yang Maha Esa. Selawat dan salam ke atas Nabi yang tiada nabi selepasnya, penghulu dan nabi kita, Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam. Ucapan salam juga ke atas keluarga dan sahabatnya.
“Majlis Majma’ Fiqh Islami dalam persidangannya yang ke 10 di Makkah al Mukarramah bermula hari Sabtu, 24 Safar 1408H bersamaan 17 Oktober 1987 Masehi hingga hari Rabu, 28 Safar 1408 Hijrah bersamaan 21 Oktober 1987 Masehi telah meneliti topik perselisihan fikah antara mazhab yang diikuti. Juga berkenaan keta’suban yang dibenci. Ia melibatkan keta’suban sesetengah pengikut mazhab terhadap mazhab mereka sehingga terkeluar daripada batasan kesederhanaan lalu menyerang mazhab lain dan ulamanya. (tambahan penulis : perkara ini tidak berlaku di Malaysia kerana kita meraikan mazhab lain contohnya di Masjid India terdapatnya Mazhab Hanafi, pembayaran wang zakat fitrah menggunakan wang yang diputuskan oleh Mufti bergantung kepada KEPERLUAN bukan BERMUDAH-MUDAH dan sebagainya)
Majlis juga telah membentangkan pelbagai isu yang berlegar dalam minda remaja moden dan gambaran mereka terhadap perselisihan mazhab yang mereka tidak tahu punca dan kandungannya. Golongan-golongan yang menyesatkan telah menyuntik jarum mereka dengan mengatakan bahawa selagi syariat Islam itu satu, dan sumber asalnya daripada al Quran dan as Sunnah yang sabit juga satu, kenapa pula berlaku perselisihan mazhab ? juga kenapa mazhab tersebut tidak disatukan supaya orang Islam hanya berpegang kepada satu mazhab dan hanya menerima satu kefahaman dalam hukum-hukum syariat ? Majlis juga membentangkan persoalan ta’sub mazhab dan masalah-masalah yang timbul khususnya masalah yang berlaku di antara pengikut aliran -aliran moden hari ini pada zaman kita ini. Pengikutnya mengajak kepada satu aliran ijtihad yang baru. Mereka menyerang mazhab-mazhab sedia ada yang telah diterima umat sejak dahulu lagi. Mereka juga menuduh semua imam mazhab atau sebahagiannya sebagai sesat sehingga menimbulkan fitnah di kalangan orang ramai. “
Majma’ Fiqh telah memutuskan memorandum kepada golongan yang mengajak supaya tidak bermazhab antaranya berbunyi :
“Golongan ini ingin membawa manusia kepada satu aliran ijtihad baharu dengan menyerang mazhab yang sedia ada serta imam-imamnya. Keterangan kami sebelum ini mengenai mazhab fiqh dan keistimewaan kewujudan mazhab dan imam-imamnya, mewajibkan mereka berhenti daripada meneruskan cara terkutuk yang mereka gunakan bagi menyesatkan manusia, memecah belahkan barisan dan menghancurkan kesatuan. Sedangkan kita berada pada zaman yang teramat perlu kepada kesatuan demi menghadapi merbahaya musuh-musuh Islam. Ia amat diperlukan bagi menggantikan seruan memecah belah yang tidak diperlukan ini.”
(Majalah al Majma’ Al Fiqhi al Islami. Tahun 2, Bil 3 m.s 173)
Tambahan penulis : Sekiranya golongan fanatik yang menyerang mazhab ini terdapat di Malaysia yang pada dasarnya taksub kepada Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab sewajarnya juga memikirkan mengenai fatwa yang dikeluarkan oleh Arab Saudi demi menjaga kesatuan dan keharmonian iaitu :
جامع الدرر السنية 14- (375-376) : ” يقول العلماء: حسن بن حسين، وسعد بن عتيق، وسليمان بن سحمان، وصالح بن عبد العزيز، وعبد الرحمن بن عبد اللطيف، وعمر بن عبد اللطيف، وعبد الله بن حسن، ومحمد بن إبراهيم بن عبد اللطيف، وكل آل الشيخ في خطابهم:
لا ينبغي لأحد من الناس العدول عن طريقة آل الشيخ، رحمة الله عليهم، ومخالفة ما استمروا عليه في أصول الدين، فإنه الصراط المستقيم، الذي من حاد عنه فقد سلك طريق أصحاب الجحيم. وكذلك في مسائل الأحكام والفتوى لا ينبغي العدول عما استقاموا عليه واستمرت عليه الفتوى منهم، فمن خالف في شيء من ذلك واتخذ سبيلا يخالف ما كان معلوماً عندهم ومفتىً به عندهم ومستقرة به الفتوى بينهم فهو أهل للإنكار عليه والرد لقوله
Maksudnya:
Seseorang tidak boleh berlainan daripada metod Al Sheikh (ahli ilmu keturunan Muhammad Abdul Wahab atau ulama’ wahabi) dan bercanggah dengan apa yang mereka (Al Sheikh atau ulama’ Wahabi) kekal berpegang padanya dalam usul agama. Ini kerana, ianya (pegangan Al Sheikh dan metod mereka) adalah jalan yang lurus yang mana sesiapa sahaja yang yang cenderung (berbeza) daripadanya (metod Al Sheikh) bererti telah melalui jalan ahli neraka. Begitu juga dalam masalah hukum-hakam dan fatwa, maka tidak boleh berlainan dengan apa yang ditetapkan dan dipegang oleh mereka dalam fatwa tertentu. Maka sesiapa yang bercanggah dalam fatwa daripadanya (fatwa-fatwa Al Sheikh) dan mengambil sikap untuk bercanggah dengan apa yang diketahui di sisi mereka (Al Sheikh/Wahabi) atau apa yang difatwakan di sisi mereka dan apa yang telah diputuskan mengenai sesuatu fatwa di sisi mereka (ulama’ Al Sheikh) bererti dia layak untuk diingkari dan ditolak perkataannya.
ونحن نعلم : أن المسائل العلمية ، والأحكام التي يُحكم بها الناس ، والفتاوى التي يُفتَون بها لا تخلو من الخلاف ، وهذا أمر يعرفه من له أدنى معرفة ، لكن الاختلاف بين الناس خصوصًا في جهة نجد لابد أن يكون سبب شر وفساد وفتنة . وسد باب الشر والفتن والفساد أمر مطلوب في الشريعة ؛ بل هو أعظم مقاصدها ، كما لا يخفى ) . ( الدرر السنية : 14 / 375 – 376 ) .
Kita mengetahui: bahawasanya dalam masalah ilmiah dan hukum-hakam yang dihukum (ijtihad) oleh manusia (ulama’) dan fatwa yang para ulama’ berfatwa mengenainya tidak sunyi dari khilaf. Ia adalah suatu perkara yang diketahui umum oleh sesiapa sahaja yang memiliki walau sedikit ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ikhtilaf dalam kalangan manusia khususnya dari sudut di mana kita dapati boleh membawa kepada keburukan, kerosakan dan fitnah, maka menutup pintu keburukan, fitnah dan kerosakan adalah suatu perkara yang dituntut dalam Syariah. Bahkan ianya adalah tuntutan syariat yang terbesar sebagaimana yang tidak dapat disembunyikan lagi
[Ad-Durar As-Saniyyah 14/375-276]
Jawapan Raja Abdul Malik bin Abdul Rahman Al-Faisal kepada watikah para Masyaikh Al Sheikh tersebut antaranya menyebut:
فالآن يكون الأمر على ما ذكر المشايخ أعلاه، فمن أفتى أو تكلم بكلام مخالف لما عليه الشيخ محمد بن عبدالوهاب، وأولاده: عبدالله، وعبدالرحمن، وعبداللطيف، وعبدالله بن عبداللطيف، فهو متعرض للخطر ؛ لأننا نعرف أنه ما يخالفهم إلا إنسان مراوز للشر والفتنة بين المسلمين
Maksudnya:
“Maka sekarang, sebagaimana disebutkan oleh para Sheikh diatas: “Sesiapa yang berfatwa atau berbicara dengan perkataan yang bercanggah dengan Sheikh Muhammad bin Abdil Wahab dan anak-anaknya (keturunannya): Abdullah, Abdul Rahman, Abdul Lathif dan Abdullah bin Abdil Lathif, bererti sedang terdedah kepada bahaya kerana kita mengetahui bahawasanya tiada manusia yang bercanggah dengan mereka (ulama’ Wahabi dari keturunan Muhammad Abdul Wahab) bererti sedang membawa/melaksanakan keburukan dan fitnah dalam kalangan Muslimin.
Tahun 1339 Hijrah
Sumber: Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah (14/377-380)
Semoga keharmonian dan kesejahteraan umat Islam di Malaysia terus berkekalan dan dijauhi dari virus-virus yang membawa permusuhan dan pecah belah umat Islam.
WaLlahua’lam

Sufi's Life - Kesalahan Shalat salafy: Menggerak-gerakan Jari Dalam Tasyahud

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK
KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT
1.0 PENDAHULUAN
Kebanyakkan dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam solat. Ternyata terdapat pelbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu ini hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab mahupun dikalangan kita. Ternyata kita masih samar-samar dalam mencari jawapannya. Apakah kedudukan hukum yang sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat dalam masalah ini. Bersama kita lapangkan hati dan minda kita untuk menerokai hakikatnya.
2.0 LATARBELAKANG PERMASALAHAN
Sebenarnya isu ini bertaraf permasalahan ranting feqhiyyah. Iaitu antara afdhal dan tidak afdhal sahaja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan samada untuk menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan mendapat tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai estetika syariat yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.
Tambahan pula, terdapat pelbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita seperti bergerak dalam kehilangan arah tuju.
3.0 PUNCA PERMASALAHAN
Ketahuilah bahawa isu ini merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula dikesan di zaman kita apabila Syeikh Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya SifatusSolah An-Nabi[1] mendakwa disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan sebeginilah yang sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak sunnah.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebahagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dihumban ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajar oleh Rasulullah. Masya Allah. Ekoran itu perlakulah tuduh-menuduh. Dan kita salah bertelingkah dengan isu kecil seperti ini. Dimanakah sikap berlapang dada dan tawaddhuk kita?

Justeru itu, inilah masanya yang sesuai untuk kita menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Kita tidak perlu memerah otak atau bekerja keras untuk menyelesaikannya. Hanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
4.0 KEDUDUKAN HUKUM
Ketahuilah bahawa Imam Al-Hafiz Mahyiddin An-Nawawi rhm telah ditanya di dalam kitabnya Al-Fatawa tentang isu mengerakkan jari (telunjuk) di dalam solat. Pertanyaan itu berbunyi : “Adakah menggerakkan jari telunjuk pada tangan kanan itu disunatkan.? Bilakah waktu yang sesuai untuk menggerakan jari tersebut? Adakah menggerakkanya secara berterusan itu membatalkan solat?”- hingga tamat soalan.
Maka Imam al-Nawawi rhm menjawab : “Disunatkan mengangkat jari telunjuk dari tangan kanan ketika melafazkan huruf ‘hamzah’ pada kalimah ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ) sekali sahaja[2] tanpa menggerak-gerakkanya[3] Sekiranya seseorang itu mengulangi pergerakannya berkali-kali, maka hukumnya adalah makruh. Hal ini tidak membatalkan solat. Demikian menurut pendapat yang sahih. Dikatakan juga, iaitu menurut pendapat yang lemah batal solatnya”… Tamat Fatwa Al-Nawawi m/s 54
Dalam menyelesaikan masalah ini, kami akan mendedahkan bukti-bukti mereka yang mengatakan bahawa sunat menggerakkan jari telunjuk secara berterusan. Kemudian kita akan membincangkan dalil-dalil tersebut satu persatu. Kami juga akan menjelaskan bahawa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka di atas itu tidak sesuai. Hal ini diperolehi berdasarkan hujah-hujah dan bukti yang terang lagi bersuluh. Insya Allah…
Disamping itu, kita juga akan menjelaskan dalil yang mengatakan bahawa tidak disunatkan mengerakkan jari telunjuk secara berterusan menerusi pandangan para ulamak yang muhaqqiq.
Pendapat para ulamak Mazhab :
1) Di dalam kitab Auni Al-Ma’bud m/s 455 juz 3 dinyatakan bahawa Syeikh Salamullah berkata di dalam Syarah Muwattha dengan katanya “Pada hadis Wail bin Hujr menurut Abu Daud[4] yang berbunyi “Kemudian Baginda mengangkat jari telunjuknya, lalu saya dapati Baginda menggerakkan jari telunjuknya sambil berdoa”.
Hadis ini menjelaskan adanya perbuatan menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud. Inilah pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan kebanyakkan ulamak. Perkara inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan “menggerakkan jari”. Dan maksud yang diputuskan di sini tidak ada percanggahan dengan riwayat yang telah dibawa oleh Imam Muslim daripada Abdullah bin al-Zubair yang bermaksud “Adalah Rasulullah SAW menyisyaratkan jari telunjuknya sambil berdoa tanpa menggerakkannya.”[5] -tamat “Auni Al-Ma’bud”
2) Berkata penulis kitab Ar-Raudh Al-Marba’ Al-Hanbali m/s 59 juz 1 : “Nabi SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya tanpa menggerakkan jari Baginda ketika bertasyahhud dan doanya di dalam solat dan selainnya. Perbuatan ini dilakukan oleh Baginda ketika mana Baginda menyebut lafaz Allah SWT. Ianya sebagai suatu peringatan keatas tauhid”. –tamat dari ‘Ar-Raudh Al-Marba’ – kitab ini merupakan kitab mukhtasar yang muktamad (dipegangi) dikalangan ulamak Al-Hanabilah.
3) Berkata pula Syeikh Al-Mazhab Al-Hanabilah iaitu Ibn Qudamah Al-Hanbali di dalam kitanya “Al-Mugni” m/s 534 juz 1 : “Dan baginda mengisyaratkan dengan jari telunjuk dengan mengangkatnya ketika Baginda menyebut lafaz Allah Taala ketika bertasyahhud. Perkara ini ditentukan berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Zubair yang bermaksud : “Sesungguhnya Nabi SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan Baginda tidak menggerakkannya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. –Tamat.
5.0 MAKSUD ‘MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK’
Ketahuilah (semoga kalian dirahmati Allah) bahawa perkara yang dimaksudkan oleh Sayyidina Wail bin Hujr pada lafaz ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ) itu ialah menggerakkan jari telunjuk sekali sahaja. Ianya merupakan satu isyarat kepada tauhid. Hal ini amat bertepatan sebagaimana yang dilakukan oleh Baginda SAW yang tidak menggerakkan jari telunjuknya daripada awal tahiyyat. Akan tetapi baginda menggerakkannya ketika membaca ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ).
Adapun hadis Sayyidina Abdullah bin al-Zubair itu adalah menafi perbuatan menggerakkan jari secara berulang-ulang. Maknanya ialah perbuatan menggerakkan jari itu hanya cukup untuk sekali sahaja.
Jadi, kita dapati disini ialah tidak ada pertentangan antara dua hadis. Inilah penjelasan secara ringkas daripada para ulamak didalam menjelaskan masalah ini. Disini kami bawakan penjelasan beberapa orang ulamak yang kami naqalkan daripada kitab-kitab mereka:-
Imam An-Nawawi rhm di dalam “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” m/s 455 juz 3, mengatakan “Ulamak mengatakan…hikmat meletakkan dua telapak tangan di atas dua paha ketika bertasyahhud ialah untuk mencegah daripada melakukan perkara yang sia-sia…”
Pada sudut yang sama, beliau menuqilkan pendapat Imam Al-Baihaqi sebagai berkata : “Sesungguhnya perkara yang dimaksudkan pada hadis riwayat Sayyidina Wail b. Hujr itu dengan lafaz ( íÍÑßåÇ ) iaitu “Dia menggerakkannya” ialah mengangkat jari telunjuk sekali sahaja. Iaitu tanpa menggerakkannya secara berterusan. Maksud ini bertepatan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Abdullah b. al-Zubair dengan Lafaz
( áÇ íÍÑßåÇ ) iaitu “Dia (Nabi) tidak menggerakkannya”. Demikian perkataan Imam Al-Baihaqi yang dinuqilkan oleh Imam An-Nawawi ke dalam kitabnya “Al-Majmu’” daripada Sunan Al-Kubra – Al-Baihaqi m/s 132 juz 2. Kami bawakannya disini secara ringkas.

Dan sesungguhnya kami telah membawakan fatwa Imam Al-Nawawi yang mengatakan bahawa dimakruhkan menggerakkan jari secara berterusan di dalam solat. Turut menguatkan pendapat kami ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya dengan sanad yang sahih daripada Numair Al-Khuzai’ie. Numair sebagai berkata : “Aku melihat Nabi SAW meletakkan telapak tangannya di atas paha kanan sambil membengkokkan sedikit jarinya.”[6]
Adapun hadis “menggerakkan jari telunjuk itu terlebih berat keatas Syaitan daripada besi” tidak boleh dijadikan dalil untuk menggerakkan jari secara berterusan. Akan tetapi maksud sebenar hadis ini ialah orang-orang yang bertasyahhud itu apabila mereka mengangkat jari telunjuknya merupakan manifestasi isyarat tauhid, seolah-olah mereka memukul syaitan dengan besi.
Hadis ini bukan bermaksud syaitan itu berada dibawah telunjuk ketika kita menggerakkannya. Andaian yang mengatakan bahawa syaitan berada dibawah telunjuk hanyalah satu kesamaran sahaja. Dan dengan kesamaran inilah orang yang menggerakkannya itu beranggapan bahawa dia sedang memukul syaitan. Pendapat seperti ini tidak diperkatakan oleh orang-orang yang berakal.
Sebagai satu peringatan disini, dinyatakan bahawa hadis “menggerakan telunjuk itu terlebih dahulu berat keatas syaitan daripada besi” adalah dhaif dari sudut sanabnya. Pada sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang dihukum tsiqah (dipercayai) oleh Ibn Hibban. Akan tetapi perawi itu juga dihukum dhaif oleh jumhur (kebanyakan ulamak)
Imam Al-Hafiz Ibn Hajr Al-Asqolani didalam “At-Taqrib At-Tahzib” menyatakan : “Katsier b. Zaid ialah ialah seorang yang benar. Tapi selalu membuat silap di dalam meriwayatkan hadis. Dia bukanlah perawi daripada Bukhari dan Muslim (Sahihain)”.
6.0 MAKSUD ‘AL-TAHLIQ’
PENJELASAN TERHADAP MAKNA AT-TAHLIQ (MEMBUAT BULATAN MENGGUNAKAN JARI)
Setengah dari kita menyangka bahawa At-Tahliq itu ialah menggerakkan jari telunjuk dengan membuat satu bulatan. Ini adalah sangkaan yang salah. Sebenarnya perkara yang dimaksudkan dengan At-Tahliq itu ialah seseorang yang mengerjakan solat (di dalam tasyahhud) itu menjadikan jari tengah (jari hantu) bertangkup dengan ibu jari diiringi dengan anak-anak jari yang lain. Tangkupan ini menjadikan satu bulatan. Perbuatan ini sebenarnya tidak membawa kepada makna menggerakan jari. Demikianlah mengikut penjelasan daripada kitab-kitab Al-Sunan.
Sesungguhnya Imam Ahmad telah meriwayatkan perihal tahliq ini di dalam Al-Musnad m/s 316 juz 4. Ibn Khuzaimah pula meriwayatkan hadis ini di dalam Sahihnya bernombor 697. Kedua riwayat ini melalui Wail b. Hujr r.a yang berbunyi : “Saya melihat Nabi SAW membuat bulatan antara jari tengah dengan ibu jarinya dengan mengangkat jari telunjuknya sambil berdoa (menyeru) ketika bertasyahhud”.
Hadis ini juga turut diriwayatkan oleh Imam An-Nasaie di dalam Sunannya m/s 35/36 juz 3, akan tetapi dengan lafaz yang berlainan. Riwayat itu berbunyi : “Rasulullah SAW menggenggam kedua jarinya lalu membuat bulatan. Saya melihat Baginda membuatnya sebegini (lalu dia mengisyaratkan dengan telunjuknya dan membuat bulatan melalui jari tengah dengan ibu jarinya)” – Maka berhati-hatilah.
7.0 PERANAN KITA
7.1 Kita perlu memahami sesuatu dari akar umbinya. Maksudnya status permasalahan, punca permasalahan dan menelusuri pendapat para ulamak secara berdisiplin. Di samping mengamati dalil-dalilnya.
7.2 Kita tidak perlu tergesa-gesa dalam mencari kata putus terhadap sesuatu permasalahan. Kelak nanti, apa yang kita pegangi sebenarnya tidak dituntut. Manakala apa yang kita tinggalkan itu sebenarnya satu tuntutan.
7.3 Perasaan insaf, sedar diri dan tawaddhuk perlu ada pada kita walau apa jua status dan kedudukan kita.
7.4 Kita hendaklah menyampaikan sesuatu dengan penuh releven dan hikmah agar kebenaran mampu terserlah dengan nilainya.
8.0 KESIMPULAN
8.1 Menggerakkan jari merupakan salah satu permasalahan cawangan dari ranting feqhiyyah. Ia melibatkan soal afdhal dan tidak afdhal sahaja. Bukannya antara halal dan haram ataupun sah dan tidak.
8.2 Kita tidak boleh menghukum seseorang dengan ahli bid’ah disebabkan dia tidak melakukan perkara sunnah. Ini kerana kemungkinan sunnah tersebut merupakan khususiyyah atau bermaksud sunnat sahaja. Sedangkan tuduhan sesat dan bid’ah sebenarnya amat berat kerana ia boleh mengeluarkan seseorang dari Islam.
8.3 Kita seharusnya berlapang dada terhadap sesuatu isu yang boleh membawa kesepakatan dan toleransi antara sesama kita.
[1] Buku karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Melayu oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul “Ciri-ciri Solat Nabi SAW.” Sebenarnya intisari buku ini lebih merupakan simpulan pendapat Syeikh al-Baani yang tidak berpegang kepada mana-mana mazhab. Bahkan condong kepada pemikiran Salafiyah al-Wahabiyyah. Dan ketahuilah bahawa pendekatan feqhiyyah yang diutarakan mereka ini jauh berbeza dengan pegangan dan pengamalan rasmi kita di Malaysia . Ternyata, jika cuba diimplimentasi ia sedikit sebanyak mendatangkan kerancuan di kalangan masyarakat. Lantaran itu, Tuan Guru kami Syeikh Hasan al-Saqqaf cuba memperbetulkan beberapa dakwaan Syeikh al-Baani dengan membawa perbincangan feqhiyyah menjurus kepada mazhab al-Syafi’ie untuk disesuaikan dengan realiti pengamalan syar’ie di negara kita khususnya.

[2]Dalil perbuatan ini adalah berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a yang bermaksud : “Adalah Nabi SAW apabila baginda mendirikan solat, Baginda meletakkan tangan kanannya diatas paha kanan dan menggenggam jari jemarinya. Lalu Baginda mengisyaratkan (mengangkat) jari telunjuknya (yang dekat dengan ibu jarinya). Baginda juga telah meletakkan tangan kirinya diatas paha kiri.” –Riwayat Al-Khamsah kecuali Al-Bukhari.
[3] Perbuatan ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Zubair r.a yang bermaksud ; “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya tanpa menggerakkannya”. Ini adalah hadis yang sahih yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi. Insya Allah kita akan membuat kupasan secara panjang lebar tentang hadis ini dihadapan.
[4] Sesunggunya Al-Baani telah tertipu dengan nisbah sesetengah yang baru terhadap Abu Daud. Maka, kita katakana bahawa nisbah beliau terhadap Abu Daud ini berdasarkan kepada taklid. Inilah sebahagian daripada dalil-dalil yang banyak yang membuktikan bahawa Al-Baani bukanlah seorang muhaddis. bahkan dia hanya seorang penuqil daripada kitab-kitab hadis sahaja. Maka berhati-hatilah.
[5] Bagi saya (penulis) : “Hadis ini juga bukan tercatat di dalam Sahih Muslim. Akan tetapi ia wujud di dalam Sunan Abu Daud. Maka berhati-hatilah !!!.
‘Abd Allah bin Jubair radiallahu ‘anhu berkata:
Bahawasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, adalah beliau ketika berdoa (tasyahud), beliau mengisyaratkan dengan jarinya dan tidak mengerak-gerakkannya.
Sanad Sahih: Hadis dikeluarkan oleh Abu ‘Uwanah (2019), Abu Daud (989), al-Nasa’i (al-Sunan al-Kubra 1193 & al-Sunan al-Mujtaba 1243) dan al-Baihaqi (2786). Berkata al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld 3, ms 417: sanadnya sahih. Berkata Syu‘aib al-Arna’uth dalam semakannya ke atas Syarh al-Sunnah al-Baghawi, jld 3, ms 178: Sanadnya kuat.

[6] Hadis ini telah disahkan oleh para Huffaz (Ahli hadis). Malik b. Numair Al-Khuza’ie adalah seorang yang diterima pada sanadnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibn Hajr di dalam “At Taqrib-At Tahzib”. Tidak ada hadis yang diriwayatkan daripada beliau melainkan seorang perawi sahaja. Dan para huffaz telah mengesahkan hadisnya. Dan kebanyakkan orang-orang yang dipercayai mempercayai riwayatnya kerana hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh beliau seorang sahaja. Mereka seperti Thabit b. Qais Az-Zarqi Al-Madini. Saya telah menjelaskan hal ini satu persatu didalam kitab saya “Imta’ Al-Ilhaz bitausiq Al-Huffaz”. Dan Imam Al-Hafiz Ibn Khuzaimah telah menghukum sahih hadis Malik b. An-Numair Al-Khuza’ie ini didalam “sahih”nya m/s 354 juz . Al Hafiz Ibn Hajr juga turut mengakuinya didalam kitabnya “Al-Isobah” ketika menterjemahkan perawi ini bernombor 8807. Disamping itu, Ibn Hibban juga telah meriwayatkan hadis ini didalam sahihnya m/s 202 juz 3. bernombor 1943. Beliau juaga dengan Abu Daud (tanpa reaksi) didalam sahihnya m/s 260 juz 1 bernombor 911. Saya rasa sudah mencukupi bagi kita untuk menghukum hadis ini dengan sahih. Sayang sekali, Al-Baani telah menghukumnya dhaif (lemah) didalam kitabnya “Taman Al-Minnah”, kemudian saya dapati beliau menghukum sahih pula hadis Malik b. An-Numair Al-Khuza’ie ini didalam kitabnya “Sahih Sunan An Nasaie” m/s 272 juz 1. Dan ternyata ini adalah tanaqudh (berlawanan), Maka berhati-hatilah.
AL-GHARI.

KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY

Kitab ini diperbahaskan mengikut kerangka Mazhab al-Syafi’ie/ Ahli Hadis. Ia merupakan Satu Jawapan Total Terhadap Sifat Solat Nabi al-Albani.
KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY