Saturday 29 January 2011

Sufi's Life - Jejak Hadits Dalam Kitab IHYA’ ‘ulumuddin Imam Ghazali (Hujjatul islam)

t

Hujjatul islam adalah sebutan bagi ulama yang faqih dalam ilmu agama dan hafal lebih dari 300.000 ribu hadis.
kitab Ihya termaktub 4848 hadis! (Masuk dalam kriteria hadis shahih, hasan, dan dhoif (untuk hal yang dibolehkan spt ahlaq, sejarah, targhib agar tidak cinta dunia, fadhilah, doa sehari-hari etc)
Tak ada satupun dalam ihya ulumuddin hadis maudlu/palsu!
Imam ghazali menulis kitab tentang Ilmu dirayah (ilmu penelitian hadits) dalam kitabnya “Al Manqul min Ta’liqatil Ushul”
Dalam Ihya’ ada beberapa hadits yang oleh ulama’ setelahnya dinyatakan sebagai hadits yang tidak diketahui riwayatnya (لا اصل له), namun hal ini tidaklah menetapkan bahwa hadits itu adalah maudhu’ (karangan sendiri) karena dimungkinkan bahwa Imam Ghozali mendapatkan riwayat itu dari para gurunya yang tidak didapatkan oleh para ulama’ ahli hadits yang lainnya.

Jejak Hadits Dalam Kitab IHYA’

Mendengar nama Al-Ghazali, yang muncul dalam benak kita bukanlah sosok seorang laki-laki, melainkan kumpulan tokoh-tokoh yang mumpuni dan kredibel dalam berbagai bidang yang berbeda. Al-Ghazali adalah ulama ushul; seorang faqih, imam dan pejuang ahlussunnah dalam bidang teologi, seorang budayawan yang berpengalaman dalam menghadapi problematika lingkungan, rahasia-rahasia yang terpendam dalam sanubari dan problematika hati nurani dan seorang filosof.
Al-Ghazali adalah poros ilmu pengetahuan pada zamannya. Ia selalu merasa haus untuk menyelami berbagai disiplin ilmu dan tidak akan merasa puas sebelum ia menguasai cabang-cabang ilmu tersebut.
Di samping golongan yang mengaguminya -sejak dulu hingga sekarang- ternyata banyak juga tokoh yang mengkritiknya. Mereka menuduh Al-Ghazali kurang memberikan perhatian terhadap ilmu hadits, sehingga karya-karyanya dipenuhi hadits-hadits palsu. Mereka beranggapan, kebanyakan riwayat yang ada dalam kitabIhya’ Ulumiddin dinukil dari kitab-kitab tasawwuf dan kitab-kitab fiqih terdahulu, sehingga validitasnya pun patut diragukan.
Pendapat para pengkritik di atas, disetujui oleh sebagian orang tanpa terlebih dahulu melakukan peninjauan ulang karena mereka menganggap pendapat tersebut sudah cukup valid. Sebenarnya, kalau kita lakukan penelitian terhadap karya-karya Al-Ghazali terutama kitab Ihya’, akan kita temukan bukti-bukti dan realitas yang bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Al-Ghazali menaruh perhatian yang besar terhadap studi ilmu hadits sebelum menulis beberapa karyanya. Ia banyak mengkaji kitab hadits-hadits shahih, terutama Shahih Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hadits-hadits yang termuat dalam kitab Ihya’, banyak yang ia nukil dari kitab tersebut.
Ada beberapa hal yang membuktikan bahwa kredibilitas beliau dalam ilmu hadits tak perlu diragukan lagi.
Banyaknya hadits-hadits yang termaktub dalam kitab Ihya (4848) adalah bukti bahwa Al-Ghazali benar-benar mendalami ilmu hadits dan banyak membaca kitab-kitab hadits. Pengumpulan hadits dalam jumlah sebanyak itu dalam satu kitab tidak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang yang benar-benar melakukan kajian yang mendalam dalam bidang tersebut. Sebagai catatan, Imam Ibnu Majah dalam musnadnya mengumpulkan 4341 hadits. Sedangkan Imam Abu Dawud meriwayatkan 5274 hadits.
Al-Ghazali menuangkan hasil penelitiannya terhadap ilmu hadits dalam kitab Al Manqul min Ta’liqatil Ushul. Dalam kitab tersebut Imam Ghazali membagi ilmu hadits dalam tiga bagian :
  • Ilmu riwayah (ilmu tentang penyampaian hadits)
  • Ilmu dirayah (ilmu penelitian hadits)
  • Ilmu dirasat ma’ani hadits (ilmu tentang pemahaman makna-makna hadits) tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan akhlaq, akidah dan hukum.
Pembahasan Al-Ghazali tentang ilmu dirayah hadits yang tertuang dalam kitab Al Mustashfa. Dalam kitab tersebut Al-Ghazali menerangkan tentang ungkapan-ungkapan yang digunakan para sahabat dalam meriwayatkan hadits, tentang hadits mutawatir, hadits ahad, dan sebagainya.
Beberapa metode sebenarnya telah dilakukan Al-Ghazali dalam meriwayatkan hadits. Pada saat memberikan penjelasan dalam studi ilmu hadits, Al-Ghazali mengatakan bahwa dalam ilmu hadits terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami terlebih dahulu, antara lain :
Iqtishar, langkah-langkah untuk menyusun ilmu hadits seperti yang terdapat dalam dua kitab hadits shahih (Bukhari-Muslim)
Iqtishad, langkah yang dapat ditempuh oleh seseorang yang mengkaji ilmu hadits dengan cara menambahkan kategori lain yang tidak terdapat dalam kategori-kategori kedua kitab shahih di atas.
Sedangkan metode yang digunakan Al-Ghazali dalam mempelajari matan (isi, kandungan hadits) dalam kedua kitab shahih, agaknya mengikuti metodologiwijaadah (pembuktian yang kuat). Ia selalu berupaya untuk mengkonfirmasikan secara intensif dengan para ahli hadits (muhadditsin) yang hidup pada masa itu. Misalnya, ia mempelajari dua kitab hadits shahih dengan teliti, kemudian berupaya mengkonfirmasikan analisa teksnya terhadap hadits tertentu kepada seorang yang ahli dalam matan hadits. Hal ini menguatkan kesimpulan di atas bahwa Al-Ghazali sangat mungkin berusaha untuk berhubungan (confirmed) dan mengambil manfaat dari keberadaan para ulama hadits yang masih ada pada saat itu.
Al-Ghazali mempelajari ilmu hadits dan mengetahui pentingnya metode pengambilan sanad (isnad al hadits) dan metode mendengar (sama’ al hadits) dari para ahli hadits. Dan hadits yang ia buktikan kebenarannya dengan cara wijadah(penguatan) dan mungkin pula dengan ijazah dapat terwujud disebabkan oleh intensitas pertemuannya dengan para ahli hadits dalam sebuah pengembaraan intelektual yang sangat panjang sebelum ia mulai menulis kitab Ihya’ Ulumiddin.
Seringkali setelah menyebutkan satu hadits muttafaq alaih, beliau menambahkan beberapa riwayat yang lain. Ini menunjukkan bahwa ia banyak menelaah berbagai riwayat hadits. Dengan kata lain beliau banyak membaca kitab Bukhari Muslim, sama seperti ia juga membaca hadits-hadits lain, sehingga ia sering mengatakan, ‘dalam sebuah hadits lain’‘dalam Riwayat lain’, ‘dalam lafadh yang lain’, ‘tertulis dalam banyak lafadh yang berbeda’, itulah yang tertulis dalam banyak khabar’, serta berbagai kalimat yang menunjukkan beliau banyak menelaah kitab-kitab hadits.
Beliau memang menukil hadits dari kitab tasawuf dan fiqh tapi jumlahnya sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan hadits yang dinukilnya dari kitab-kitab hadits. Itu pun dilakukanyya setelah mengkaji ulang secara mendalam, sehingga membuahkan keyakinan bahwa tak satupun hadits yang disebutkannya termasuk dalam kategorimaudlu’ (palsu). Kajian al Iraqi dan al Murtadha sudah membuktikan kenyataan ini
Perbedaan di kalangan para cendekiawan pun dalam mengomentari hadits-hadits dalam Ihya’, adalah satu bukti, bahwa pemahaman mereka dalam ilmu hadits sangatlah berbeda. Dengan demikian, memvonis bahwa dalam kitab Ihya’ banyak terdapat hadits-hadits palsu serta dipenuhi oleh kebohongan adalah sikap yang terlalu tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.
Abu Dawud mengatakan, mengutip dari Abu Zar’ah Ar Razy : ”Ada dua puluh ribu pasang mata yang bersama-sama dengan Rasulullah. Tiap pasang meriwayatkan darinya walau hanya satu kata, atau sebuah kalimat tentang beliau SAW. Dan hadits beliau jauh lebih banyak dari itu.” (Al Murtadha, juz I hal 50).
Karenanya, ketika Al-Iraqi mentakhrij hadits-hadits Ihya‘ dan merasa asing atas satu riwayat hadits beliau berkata, “Aku belum menemukan dasar pengambilan hadits ini.” Beliau tidak mengatakan “Hadits ini tidak berdasar sama sekali.” Ini cukup memberikan bukti bagi kita, bahwa al Iraqi sendiri sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan atas apa yang belum diketahuinya, mengingat banyaknya hadits-hadits Nabi yang mungkin saja periwatannya tidak sampai pada sebagian ahli hadits. Dengan demikian tidak selayaknya kita mengatakan sebuah hadits adalah palsu tanpa bukti-bukti yang memadai.
Al-Ghazali menuliskan hadits-hadits dalam kitab Ihya’ yang ia kutip dari berbagai kitab hadits dan kitab-kitab lainnya, seperti kitab tasawwuf dan fiqih, dengan keyakinan bahwa derajat hadits-hadits tersebut tidaklah sama, ada shahih, hasanataupun dha’if. Tentu saja keyakinan itu ia dapatkan setelah melihat berbagai pendapat para ulama’ hadits dan para ulama’ lainnya yang juga mengetahui banyak hal dalam ilmu-hadits, seperti Syaikh Abu Thalib Al-Makki. Ia mengkaji pendapat-pendapat mereka dan mempertimbangkannya ketika akan menukil berbagai hadits  ke dalam karya-karyanya, termasuk Ihya’ Ulumiddin.
Al-Ghazali juga sangat tahu bahwa semua hadits yang ia nukil dalam kitab Ihya’tidak keluar dari kategori shahih, hasan, dha’if dan tidak satupun yang bisa dikategorikan sebagai hadits palsu (maudlu’). Karena itu, ia tidak melakukan sebuah revisi apa pun dalam kitab Ihya’, setelah ia merampungkan penulisannya dan mengajarkannya kepada murid-muridnya di kota Thus.
Lebih dari itu, Al-Ghazali juga sangat yakin bahwa mengarang hadits palsu dalam hal-hal yang berhubungan dengan keutamaan ibadah adalah perbuatan maksiat. Beliau berkata, ”Ada sebagian orang berasumsi bahwa boleh saja mengarang-ngarang sebuah hadits, bila itu digunakan dalam pembahasan keutamaan amal, ibadah, dan ancaman terhadap kemaksiatan. Mereka beralasan dengan tujuan yang baik, akan tetapi ini adalah asumsi yang salah karena Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka kelak ia akan mendapatkan tempatnya di neraka” (Ihya’, juz 3 hal. 136). Al Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari berbagai jalur periwayatan.
Jika kenyataannya memang seperti itu, maka tidaklah masuk akal, bila Al-Ghazali dengan sengaja menyebut hadits palsu atau meragukan dalam karyanya, karena ia akan termasuk kelompok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Hal ini sangat dijauhi oleh Al-Ghazali
Sikap yang cenderung tergesa-gesa dari para pengritik Al-Ghazali di atas sebetulnya bisa dipahami sebagai akibat dari sikap antipati berlebihan dan tidak menerima secara lapang ketika sedang melakukan riset dan kajian dengan tujuan mencari kebenaran terhadap karya-karya Al-Ghazali, terutama Ihya’. Oleh karena itulah, mereka tidak bisa melakukan studi kritis yang benar, ilmiah dan objektif. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka sudah terjebak sejak awal dalam kesalahan yang tidak semestinya terjadi ketika memberikan penilaian.
Sedangkan para ulama dan ahli hadis yang bersikap arif dalam menilai hadits-hadits dalam kitab Ihya’ bisa dikatakan sikap tersebut merupakan hasil dari sebuah niat yang memang benar-benar tulus untuk mencari kebenaran semata, bukan sekedar subjektivitas, karena itu pula mereka berkenan mengkaji Ihya’ dengan hadits-hadits di dalamnya, melalui kajian yang benar, jujur dan objektif. Sehingga mereka mampu menuliskannya dalam karya-karya ilmiah mereka yang bermutu. Di antara mereka yang bersikap seperti ini adalah Al-Iraqi dan Al-Murtadla. Keduanya telah bekerja keras dan serius ketika melakukan riset ilmiah dan studi kritis untuk mengetahui dan membuktikan hakekat hadits-hadits dalam Ihya’, sehingga mereka tidak terjerembab dalam kesalahan yang fatal. Masun Said Alwy

Sufi's Life - Untuk Membungkam Wahabi Yang Anti Takwil (Bag. 1). Mohon Disebarluaskan….!!!!!


Kitab ini “as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil” adalah karya al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin as-Subki (756 H); Ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang telah mencapai derajat Mujtahid Mutlak. Isinya dari a sampe z membantah aqidah sesat Ibn Qayyim (murid Ibn Taimiyah). Guru dan murid ini sama-sama berakidah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya); mengatakan Allah duduk di atas arsy. Na’udzu Billah!!! Ibn Zafil yang dimaksud dalam kitab di atas adalah Ibn Qayyim.

Terjemah 1:

al-Bayhaqi telah mengutip dalam kitab Manaqib Ahmad dari pemimpin ulama madzhab Hanbali –yang juga putra dari pimpinan ulama madzhab Hanbali–; yaitu Imam Abu al-Fadl at-Tamimi, bahwa beliau (Abu al-Fadl) berkata: “Imam Ahmad sangat mengingkari terhadap orang yang mengatakan bahwa Allah sebagai benda (jism). Dan ia (Imam Ahmad) mengatakan bahwa nama-nama Allah itu diambil dari tuntunan syari’at dan dengan dasar bahasa. Sementara para ahli bahasa mengatakan bahwa definisi “jism” (benda) hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki panjang, lebar, volume, susunan, bentuk, (artinya yang memiliki dimensi), padahal Allah Maha Suci dari pada itu semua. Dengan demikian Dia (Allah) tidak boleh dinamakan dengan “jism” (benda), karena Dia Maha Suci dari makna-makna kebendaan, dan penyebutan “jism” pada hak Allah tidak pernah ada di dalam syari’at; maka itu adalah sesuatu yang batil”.

Terjemah 2:

al-Bayhaqi dalam kitab Manaqib Ahmad berkata: “Telah mengkabarkan kepada kami al-Hakim, berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu Amr ibn as-Sammak, berkata: Mengkabarkan kepada kami Hanbal ibn Ishak, berkata: Aku telah mendengar pamanku Abu Abdillah (Ahmad ibn Hanbal) berkata: ”Mereka (kaum Mu’tazilah) mengambil dalil dalam perdebatan denganku, –ketika itu di istana Amîr al-Mu’minîn–, mereka berkata bahwa di hari kiamat surat al-Baqarah akan datang, demikian pula surat Tabarak akan datang. Aku katakan kepada mereka bahwa yang akan datang itu adalah pahala dari bacaan surat-surat tersebut. Dalam makna firman Allah “Wa Ja’a Rabbuka” (QS. al-Fajr 23), bukan berarti Allah datang, tapi yang dimaksud adalah datangnya kekuasaan Allah. Karena sesungguhnya kandungan al-Qur’an itu adalah pelajaran-pelajaran dan nasehat-nasehat”. Dalam peristiwa ini terdapat penjelasan bahwa al-Imâm Ahmad tidak meyakini makna “al-Majî’” (dalam QS. al-Fajr di atas) dalam makna Allah datang dari suatu tempat. Demikian pula beliau tidak meyakini makna “an-Nuzûl” pada hak Allah yang (disebutkan dalam hadits) dalam pengertian turun pindah dari satu tempat ke tempat yang lain seperti pindah dan turunnya benda-benda. Tapi yang dimaksud dari itu semua adalah untuk mengungkapkan dari datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah, karena mereka (kaum Mu’tazilah) berpendapat bahwa al-Qur’an jika benar sebagai Kalam Allah dan merupakan salah satu dari sifat-sifat Dzat-Nya, maka tidak boleh makna al-Majî’ diartikan dengan datangnya Allah dari suatu tempat ke tampat lain. Oleh karena itu al-Imâm Ahmad menjawab pendapat kaum Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah datangnya pahala bacaan dari surat-surat al-Qur’an tersebut. Artinya pahala bacaan al-Qur’an itulah yang akan datang dan nampak pada saat kiamat itu”.

Tambahan:

Riwayat al-Bayhaqi di atas juga telah dikutip oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, j. 10, h. 327) dengan redaksi berikut:
“al-Bayhaqi dalam Kitab Manaqib Ahmad meriwayatkan dari al-Hakim dari Abu Amr as-Sammak dari Hanbal, bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal telah mentakwil firman Allah: “Wa ja’a Rabbuka” (QS. al-Fajr: 23) bahwa yang dimaksud ”Jâ’a” bukan berarti Allah datang dari suatu tempat, tapi yang dimaksud adalah datangnya pahala yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Tentang kualitas riwayat ini al-Bayhaqi berkata: “Kebenaran sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun”.
Dari penjelasan di atas terdapat bukti kuat bahwa al-Imâm Ahmad memaknai ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, juga hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, tidak dalam pengertian zhahirnya. Karena pengertian zhahir teks-teks tersebut seakan Allah ada dengan memiliki tempat dan kemudian berpindah-pindah, juga seakan Allah bergerak, diam, dan turun dari atas ke bawah, padahal jelas ini semua mustahil atas Allah. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibn Taimiyah dan para pengikutnya (kaum Wahhabiyyah), mereka menetapkan adanya tempat bagi Allah, juga mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tubuh, hanya saja untuk mengelabui orang-orang awam mereka mengungkapkan kata-kata yang seakan bahwa Allah Maha Suci dari itu semua, kadang mereka biasa berkata “Bilâ Kayf…(Sifat-sifat Allah tersebut jangan ditanyakan bagaimana?)”, kadang pula mereka berkata “’Alâ Mâ Yalîqu Billâh… (Bahwa sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang sesuai bagi keagungan Allah).
Kita katakan kepada mereka: ”Andaikan al-Imâm Ahmad berkeyakinan bahwa Allah bergerak, diam, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka beliau akan memaknai ayat-ayat tersebut dalam makna zhahirnya, juga beliau akan akan memahami makna al-Majî’ dalam makna datang dari suatu tempat atau datang dari arah atas ke arah bawah seperti datangnya para Malaikat. Namun sama sekali al-Imâm Ahmad tidak mengatakan demikian”.

Penting Untuk Membungkam Wahabi:

Kita katakan: “Wahai Wahabi, kalian anti takwil, kalian mengatakan: “al-Mu’awwil Mu’aththil” (orang yang melakukan takwil maka ia telah mengingkari al-Qur’an), lalu apa yang hendak kalian katakan terhadap Imam Ahmad yang telah melakukan takwil sebagaimana dalam riwayat di atas, –yang bahkan diriwayatkan oleh Ibn Katsir; salah seorang rujukan utama kalian??!! Mau lari ke mana kalian!!!!! Apakah kalian hendak mengatakan Imam Ahmad sesat?????? Sungguh yang sesat itu adalah kalian sendiri… Kalian yang telah mengotori Madzhab Hanbali…..!!!
-ustadz abu fateh-

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)
Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.
“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Sufi'sLife - Tafsir Ibnu Katsir dan Adzkar Imam Nawawi : Kisah Tawassul Dengan Nabi Muhammad (Sesudah Wafatnya Nabi)

Kisah Tawassul Utby Rah. (Guru Imam Syafii) dalam kitab Tafsir Ibnu katsir (Lihat di Surat ke 4 ayat 64)  dan Al adzkar Imam Nawawi (Lihat di Bab ziarah kemakam Nabi) yang diingkari oleh golongan mujasimmah Wahhaby/salafi/salafy palsu. Bahkan puncak dari kedustaan wahhaby adalah membuang kisah Uthby pada kitab al adzkar Nawawi cetakan penerbit wahhaby saudi arabia.

BANTAHAN TERHADAP SITUS WAHHABY PENENTANG AHLUSSUNNAH (BAGIAN KE-IV, V, VI) : Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul

Risalah ini terdiri dari :
-          Ayat-ayat Al-qur’an dalil tawassul
Hadits-hadis Nabawi dalil tawassul dengan Nabi dan Wali Allah Semasa Hidup ataupun sesudah wafatnya.
-          Tawassul kepada Rasulallah saw. sesudah wafatnya:
-          Allah menjadikan Penolong-penolong bagi  Orang Beriman
-          Muhammad Ibnu Abdul Wahhab  (Imamnya madzhab Wahabi) tidak mengingkari tawassul
-          Para Nabi Hakikatnya Hidup didalam Kuburnya
-          Diantara dalil-dalil orang yang membantah serta jawabannya

Kesesatan Paham yang Menafikan Tawassul

Bertawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih (Wali Allah) baik ketika mereka sudah hidup maupun setelah wafatnya adalah amalan ummat muslim diseluruh dunia. Berikut ini kami ketengahkan dalil-dalil shahih yang dijadikan rujukan pada amalan sunnah ini. Sedangkan nash atau dalil yang melarang tawassul dengan Nabi atau Wali Allah semasa hidup atau wafatnya.
A. Ayat-ayat Al-qur’an dalil tawassul
1. Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu(Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
2. Dalam surat  Al-Maidah ayat 35:
‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….”
Keterangan :
Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.
Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu di- benarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.”
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw..  Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatasMenurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib,  oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada  cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalamKhasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ  خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ  تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ
“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muham- mad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.
Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada tempatnya. Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.: “Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman : 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini–pen.) dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagai- mana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“. Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman-Nya dalam  surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:
اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ  لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masing dan telah menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34). DAPAT DISIMPULKAN JUGA BAHWA IBNU TAYMIYAH MENGAKUI KONSEP “NUR MUHAMMAD” BAHWA NUR NABI MUHAMMAD ADALAH MAKHLUQ YANG PERTAMA KALI DICIPTAKAN. Dan perhatikan kebiasaan buruk dan kedustaan ibnu taymiyah (mati 721 H)  yang mengatakan “tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya” padahal imam Thabrani (wafat 360 H) menulisnya dalam al -ausath, Abu Nu’aim (wafat 430 H)  dalam Dala’ilun Nubuwwah dsb.
B. Hadits-hadis Nabawi dalil tawassul dengan Nabi dan Wali Allah Semasa Hidup ataupun sesudah wafatnya.
1. Hadits Shahih dari Abu Sa’id al Khudri Ra.
hadist tawassul 1
Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata: Rasulullah Shallalahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo’a: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo’a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ dan sum’ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencariridla-Mu, maka aku memohon kepada Engkau: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya” (H.R. Ahmad dalam al Musnad, ath-Thabarani dalam ad-Du’a, Ibn as-Sunni dalam ‘Amal al Yaum wa allaylah,
al Bayhaqi dalam Kitab ad-Da’awat al Kabir dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al ‘Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lainlain). Dalam hadits ini terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya.
2. Hadits Shahih tentang tawassulnya Sahabat yang sembuh penyakit Mata (Buta)
Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan: “Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasulllah; ‘Berdo’alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!’. Kemudian Rasulallah ber- sabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)’. Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya (untukku)!’. Rasulallah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca do’a tersebut:
hadist tawassul 2
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang meng- hampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafa’at bagiku’.
Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya”. (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495; Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385; Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1, hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula ).
Syeikh Ja’far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadits diatas ini di dalam bukunya yang berjudul Ma’a al-Wahabiy yinfi Khuthathihim wa ‘Aqa’idihim. Dia berkata, “Tidak ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini. Bahkan, ulama yang dipercaya oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui keshohihan sanad hadits ini, dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja’far yang terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu Ja’far al-Khathmi. Dia seorang yang dapat dipercaya.’
3. Kisah Shahabat yang menyaksikan kisah  No. 2,  mengajarkan Tawassul ini Pada Masa Khalifah Utsman
Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah saw.) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, “Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajat- nya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula mem- perhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya maka katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkan-lah hajatku’Kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu’.
Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’. Ia (Utsman bin Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehinggaengkau telah berbicaranya kepadanya tentangku.
Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’ (info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi Rasulallah karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)
Al-Mundziri (At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan At-Thabarani diatas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadits itu.
4. Hadits tawassul Nabi Muhammad kepada para Nabi yang telah wafat
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da ummi ‘ (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw. menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw. sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan meng- gunakan tangan beliau saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw. berbaring disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”. (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
5. Hadits tawassul Nabi Muhammad kepada para Nabi yang telah wafat (2)
Hadits yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, ketika Fathimah binti Asad isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad. Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad, kemudian berbaring seraya bersabda:
“Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku panggilan ibu, karena Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya, lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumaa memasukkan jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)
Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin Malik.
Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling memper- kuat kebenarannya.
Imam Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim dalam karyanya “al-Ifhaam wal Ifhaam @ Qadhaya al-Wasiilah wal Qubur” halaman 32, di mana beliau, rahimahUllah, menyatakan:-
Dan juga kita dapat perhatikan di sini bahawa para nabi yang Junjungan Nabi s.a.w. bertawassul dengan haq mereka kepada Allah dalam hadits tersebut dan lain-lain hadits telah pun wafat. Maka tsabit harus (jawaz) bertawassul kepada Allah dengan “haq” atau dengan “ahlil haq” yang hidup dan yang mati. Justru setelah ini adakah hujjah bagi orang yang menegah bertawassul?! Ya Allah, tiada kekuatan melainkan denganMu!!
Kalam yang kedua daripada al-Faqih Habib Zain bin Ibrahim BinSumaith dalam “al-Ajwibah al-Ghaaliyyah” halaman 76, di mana beliau, hafizahUllah, menyatakan:-
Lihatlah kepada sabdaan baginda : “dengan haq para nabi sebelumku“, maka itu adalah dalil yang jelas bagi mengharuskan / membolehkan bertawassul dengan para nabi setelah kewafatan mereka, sesungguhnya mereka itu hidup di alam barzakh. Dan demikian pulalah segala waris-waris mereka yang sempurna dari kalangan para shiddiqin dan awliya. (Yakni boleh bertawassul dengan mereka semuanya, sama ada yang masih hidup maupun yang telah wafat).
C. Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala wafatnya:
1. Kisal Sahabat Bilal al-habsyi ra.
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi)bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah danmemeluk pusara Rasulallah saw. tanpa mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada yang telah meninggal:
“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)
Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dantawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.
2. Kisah Tawassul seorang Badwi pada zaman khalifah Ali ra.
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumi- kan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124, ‘Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’. Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku(Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa meng- hendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.
3. Kisah Al-‘Utbah
Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhur- ahmengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:
“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahu kan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.
Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhahbab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengah- kan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.
Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu tawassul kepada Rasulallah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu. Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung ber- do’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?
4. Kisah Shahabat dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (1)
Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56).
5. Kisah Shahabat dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (2)
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)
6. Kisah Shahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (3) dan bukti pengkafiran wahaby terhadap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar–. yang ber- kata: “Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datangkemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah sese- orang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577).
di atas adalah kitab fathul bary syarah sohih bukhary oleh ulama islam ahli sunnah wal jama’ah al-asya’irah iaitu imam syeikh ibnu hajar al-asqolany.
di atas pula adalah isi kandungannya dalam permulaan kitab tadi yang dicetak dengan nama 4 buat syarikat pencetakan menyatakan kitab tersebut telah di tahkik ( diletak nota ) oleh abdul aziz bin baz al-wahhabi.lihat line yang telah dimerahkan.
nah….inilah bukti bahawa bin baz mufti wahhabi dan kesemua wahhabi di malaysia mengkafirkan sahabat nabi muhammad: di atas adalah isi kandungan kitab tersebut yang ditambah nota kakinya oleh bin baz al-wahhabi dan kesemu wahhabi di malaysia memperakuinya.tertera pada line yang berwarna merah hadith nabi yang sahih dalam kitab fathul bary tersebut menyatakan bahawa sahabat nabi yang bernama bilal al-harith almuzany telah melakukan amalan tawassul iaitu meminta hujan dari allah bertawassulkan nabi dinamakan “istisqo’ “.
pada line yang berwarna biru pula adalah kenyataan rasmi bin baz al-wahhabi dan kesemua wahhabi malaysia mempersetujuinya dimana kenyataan tersebut amat jelas wahhabi mengkafirkan dan menghukum syirik sahabat nabi (bilal) kerana bertawassulkan nabi ketika ” istisqo’ “. dan perhatikan pada kenyataan wahhabi diatas: و ان ما فغله هذا الرجل منكر ووسيلة الى الشرك yang diertikan “sesungguhnya apa dilakukan oleh lelaki ini iaitu sahabat nabi muhammad (bilal) adalah satu-satunya pembawa syirik“. dan perhatikan pada ayat selepasnya lebih jelas wahhabi mengkafirkan sahabat nabi dan menghukum sahabat nabi muhammad (bilal) sebagai musyrik.
semoga allah memelihara kita dari terjatuh dalam kancah wahhabi atau yg seakidah dgn wahhabi.sekalipun nk didakwa wahhabi tak wujud didunia ini tapi kekufuran mereka masih menyebarkannya termasuk website mereka yg bertopengkan ahkam.
7. Kisah Shahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni dan Ahlu Madinah Bertabaruk dengan makam Nabi (4)
Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam beliau yaitu yang diketengah- kan oleh Al-Hafidz Abubakar Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.
Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.
8.  Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw. (1)
Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Ketika aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang terlepas dari belenggu “.
9. Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw. (2)
Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:
“Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyibbab 47 halaman 165.
10. Kisah Shahabat yang menyaksikan kisah  No. 2,  mengajarkan Tawassul ini Pada Masa Khalifah Utsman
Kisah ini telah dijelaskan pada hadits-hadits pada point B diatas.
D. Allah menjadikan Penolong-penolong bagi  Orang Beriman
Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan Rasulallah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab.
1.  Allah swt. berfirman:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)
Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula(pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah ?
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.
1. Hadits Rasulallah saw.:
وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ
Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya”. (HR Muslim, Abu Daud dan lainnya.
2. Hadits :
إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
“Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
3. Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
4. ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.
  1. ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
“Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !
Riwayat diatas ini diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan disini.
Hadits-hadits diatas ini juga menunjukkan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta tolong kepada Allah!
Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’?
Jadi sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu hanya sekedar washithah.
Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu !!
E. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab  (Imamnya madzhab Wahabi) tidak mengingkari tawassul
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul, tetapi anehnya atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab Al-Istifta: “Tidak ada salahnya orang bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia mengatakan, ‘bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul khusus kepada Nabi Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk’.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia mengatakan: ‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya’ “. Demikianlah antara lain yang dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Majmu’atul-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’ dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu ‘Abdul-Wahhab.
F. Para Nabi Hakikatnya Hidup didalam Kuburnya
Jelaslah bagi golongan yang mau berpikir, sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri pada Allah swt. pada hakekatnya berdasar- kan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah Nabi saw.
  1. Hadits  yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalamMajma’uz Zawa’id dan menilainya sebagai hadits shohih sebagai berikut:
حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم
فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ
“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.
2. Juga sabda beliau saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :
مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ.
“Setiap salam yang disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.
3. ‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulallah saw bersabda:
قاَلَ رَسُولُ اللهِ.صَ. اِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء الْخَلآِئقِ،
فَلآ يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدًا أِلىَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ،
هَذَا فُلآنُ اِبْنُ فُلآنُ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ
“Allah mewakilkan Malaikat didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia. Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya: si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)
Dari semua hadits tersebut jelas buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam yang disampaikan oleh ummat-nya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan, dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo’a keselamatan dan ampunan untuk ummatnya.
4. Anas Ra. Meriwayatkan hadits :
“Semua para nabi adalah hidup didalam kubur dan mereka melakukan shalat (HR. Imam Baihaqi dalam kitabnya Hayati Anbiya (Nabi-nabi hidup dalam kuburnya). Allamah Juga meriwayatkan hadits ini dari berbagai isnad.
5. Hadits Riwayat Muslim, Dari Anas ra. Bahwasanya  Rasulullah SAW bersabda :
“Pada malam mi’raj, daku melewati Nabi Musa as. Dan melihatnya shalat didalam kuburnya.”
6. Hadits Riwayat Muslim, mengenai berjumpanya nabi Muhammad dengan para Nabi pada waktu isra mi’raj.
Bahwasanya  Rasulullah SAW bersabda : “Daku Nampak sendiri sekumpulan Nabi-nabi dan melihat Nabi Ibrahim dan nabi Isa As. Sedang shalat di dalam keadaan berdiri”.
7. Imam Suyuti Rah. Juga menulis Kitab tentang Hidupnya para nabi di dalam kuburnya. (KitabFadhilah Shalawat Syaikhul Hadits Maulana zakariyya Halaman 16).
G. Diantara dalil-dalil orang yang membantah serta jawabannya
Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:
Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan:
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang diper- bolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.
Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan—pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.
Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak mem benarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagai- mana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).
Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.
Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.
Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal ke bajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagai- mana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasul- Allah saw. tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.
1. Para penentang tawassul berhujjah: (Tulisan yang di TEBALkan adalah tambahan dari penulis, bukan dari kitab asyaukani)
Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk men- dekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)
َلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا
“…Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”.(Al-Jin:18)
لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.”(Ar-Ra’ad : 14)
Jawaban :
Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lainnya tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandangan. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !
2. Juga golongan pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :
وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْمَ لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ لِنَفْسٍ  شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (Al-Infithar:17-19)
Jawaban :
Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.
3. Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ
Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (Ali Imran : 128)
Dan firman-Nya lagi : قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَقْعًا وَلآ ضَرًّا
Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (Al-A’raf : 188)
Jawaban :
Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!
Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.
Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharap- kan syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan per- mohonan yang diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawassul.